Kontrak Imamat

Sebelum memutuskan untuk mengirim cerpen ini ke media massa, saya merasa bingung: kepada media mana cerpen ini saya tujukan? Awalnya, saya mengurungkan niat untuk mempublikasikan kisah ini karena beberapa alasan, salah satu misalnya, ceritera ini akan menjadi kontroversial-walaupun saya sendiri kurang yakin dengan itu. Hehehe. Namun pada akhirnya, oleh karena lahirnya kesadaran bahwa konsistensi iman adalah persoalan paling sensitif di abad ini, maka saya hendak mengirimkan naskah ini ke koran Pos Kupang namun akhirnya tidak dimuat dan saya mempublikasikannya di sini. hehehe. Alasan lain adalah karena sebagian besar orang yang mengkonsumsi koran tersebut justru beragama Katolik (mayoritas di NTT, sebelum Kristen dan Islam). Jujur, saya cukup takut dan kewalahan bagaimana memulai cerita pendek ini yang, kalau di mata pembaca mungkin saja tidak memiliki kriteria tertentu sebagai cerpen, tetapi karena besarnya minat saya pada mempertanggungjawabkan iman secara intelektual maka saya memberanikan diri menulis.

Satu
Begini ceritanya. Sore itu, meskipun langit tampak mendung dan awan berarak dari arah utara menuju timur seperti rombongan pelayan altar, ia duduk nelangsa. Ribuan jilid buku dan koran terhampar begitu saja di hadapannya seakan turut merasakan badai yang mengamuk di balik dadanya. Badai yang bukan diciptakan oleh hasil perubahan gejala alam. Tetapi fenomena abstrak yang lahir dari sebuah relasi itu terlalu tangguh untuk dirobohkan. Tentu, dengan seseorang yang beberapa minggu yang lalu secara tak sengaja ia temui. Ketika hujan tumpah dengan begitu kurang ajar, menghalangi perjalanan pulang menuju pastoran. Ketika gadis itu dengan senyum mengembang menyerupai payung yang tampak ragu-ragu menangkal basah. Ketika keduanya berteduh tanpa kata-kata. Atau betapa sebelum itu, padangan mereka bertemu secara tak sengaja mirip pemahaman irasional tentang mengapa tungkai cemara senantiasa berderai meski tanpa angin yang berhembus. Selanjutnya siapa sangka, jika pertemuan tak terencana itu pada akhirnya berujung debaran jantung. Seolah-olah hati adalah sebuah taman yang wajib kau kunjungi?
Hari ini mereka kembali bertemu. Bukan di taman yang sepi, pun villa pada puncak bukit seperti sebelum-sebelumnya. Upacara kematian salah seorang tokoh terkenal di kabupaten ini entah bagaimana merupakan momen paling tepat bagi pertemuan tersebut.
Lagu requiem seakan tidak begitu runcing memendarkan kesedihan. Apalagi baru-baru ini, televisi dan internet menjadikan kesedihan tragedi AirAsia sebagai komoditi dengan nilai jual terlaris. Otomatis, bagi mereka, kesedihan adalah sebuah kata keliru untuk menyebut bahwa sesungguhnya semua hal cuma bertahan sementara.
“Sejak kapan mencintai itu dikatakan salah?” tanya gadis itu gusar setelah lima kali mereka bertemu secara diam-diam namun belum mencapai kata sepakat tentang hubungan itu. Lebih tepatnya, mereka berjumpa dengan sembunyi-sembunyi. Mengingat terdapat ribuan mata senantiasa mengawasi perangai yang mereka perbuat. Bayangkan bagaimana tidak jengkel jika seharian inboxmu dipadati caci maki dari orang yang tak kau kenal? Perempuan penggoda, pelacur, makhluk haram, lalu beraneka atribut baru disematkan pada kepribadianmu.
Seperti memahami kekalutan gadis itu, ia lalu berujar, “Sejak engkau memiliki pertanyaan demikian.” (Lha, sampai di sini, saya bingung dengan pernyataan seperti itu!)
“Lalu, seperti apa hubungan kita?” Gadis itu kembali bertanya sambil membayangkan betapa cinta selalu tidak pernah tepat waktu.
“Aku mencintaimu dan engkau mencintaiku. Jadi kita saling mencintai. Tidak ada hubungan lain di luar dari itu, kan?” potong lelaki itu dengan mata membadai.
“Beberapa hari terakhir, aku merasa ragu. Kau mencintaiku di saat engkau sedang berusaha mencintai Orang Lain yang belum juga kau jumpai.” Gadis itu berseloroh dingin penuh sinis.
“Apakah itu berarti, kita hanya sekedar berjanji?”
“Kupikir begitu!” Ia melanjutkan, “Toh, setiap janji hanya akan ada sejauh kontrak yang dibangun antara dua pribadi masih dirasa relevan.”
“Saya berjanji akan menikahimu secepatnya.”
“Secepat itu?”
“Sesederhana mencintaimu dan melupakan yang lain.”
Sekalipun upacara penguburan berjalan lamat-lamat dirundung duka, keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Sambutan dari seorang Imam tua tidak lagi digubris. Apalagi Bupati yang, kebetulan saat itu menolak untuk berbicara dengan alasan yang tidak jelas, mereka pandangi dengan tatapan menjijikan. Bagai ajang debat level nasional, upacara itu jelas-jelas diwarnai dengan kericuhan religius. Di satu pihak, seseorang menjagokan almahrum sebagai salah anggota kesayangannya dan di lain pihak, ia malah dicemooh. Sementara itu, keduanya masih saja bungkam. Seolah-olah mereka paham bahwa tidak ada yang namanya cinta. Yang ada hanyalah kepentingan. Dengan kata lain, saya mencintaimu karena kau penting. Sejauh kau tidak penting bagiku, dirimu bukan lagi siapa-siapa. Bukankah kematian selalu berarti hilangnya cinta-di samping kepentingan? Kira-kira seperti itu yang bercokol dalam pikiran pemuda itu.

Dua
Sehelai kertas kosong tergeletak di atas meja. Dan dengan jemari tangan yang gemetaran, pemuda itu mulai menulis sesuatu. Siapa pun yang kebetulan membaca cerita ini pasti bisa menebak seperti apa isi tulisannya itu. Pada bagian akhir ia menulis, “Dengan ini saya menyampaikan kehendak hati saya untuk mengundurkan diri dari perjalanan panggilan ini.”
Selesai menulis, dimasukkan surat itu ke dalam sebuah amplop (kalau tidak salah, saya pernah melakukan hal serupa. Sebelum surat itu saya kirimkan kepada Pemimpin tertinggi serikat, dengan diam-diam saya membakarnya).
Dengan demikian, bergegaslah pemuda itu menuju rumah kekasihnya. Seakan ia tahu, akan ada kehidupan baru yang harus ia retas dari awal. Kehidupan yang bagaimana modelnya, ia sendiri belum tahu betul. Ya! Ia benar-benar belum tahu ketika sesampainya di depan rumah, matanya menangkap pemandangan aneh. Di hadapannya berdiri keluarga besar kekasihnya. Mata mereka memancarkan kesedihan bercampur sakit hati paling dalam.
Seperti apa akhir dari cerita ini, saya yakin kalian bisa menebak. Pemuda itu kemudian ditemukan tewas gantung diri setelah pinangannya ditolak.

Maumere, 09 Januari 2015

Tinggalkan komentar