Merawat Pikiran

Oleh Hans Hayon

Alumnus STFK Ledalero

Tinggal di Ende

 

Kau ciptakan malam, tapi kubuat lampu,

Kau ciptakan lempung, tapi kubentuk cupu

Kau ciptakan gurun, hutan dan gunung,

Kuhasilkan taman, sawah dan kebun

 

Salah satu bait puisi Mohammad Iqbal di atas menunjukkan betapa pentingnya proses berpikir yang melaluinya manusia sanggup mengaktualisasikan diri. Aktivitas semisal membuat lampu, membentuk cupu, mengolah kebun—di situlah teknologi ditemukan, dan untuk itu akal dikerahkan.

Sejarah Berpikir

Memang, agak konyol kalau ada pertanyaan, “kapan pikiran itu dimulai”? Atau “dari mana datangnya pikiran”? Untuk mengindari kegelisahan jawaban atas pertanyaan seperti di atas, perlu dipahami seperti apa dan bagaimana sesuatu disebuat sebagai “proses berpikir”. Paul Budi Kleden dalam bukunya Aku yang Solider, Aku dalam Hidup Berkaul (Maumere: Ledalero, 2002, hlm. 20), mendefinisikan berpikir sebagai “sebuah proses memadukan elemen-elemen pengalaman ke dalam sebuah struktur dan menemukan serta menarik garis-garis penghubung antarberbagai elemen itu. Penggarisan atau pemaduan itu selalu mengandaian sebuah horison bersama”. Selanjutnya Paul Budi menulis, “Berpikir adalah juga proses mempertanyakan, memperhatikan horison itu sendiri, mempertanyakan kepentingan dan nilai yang didukung dan diwakilinya”. Pengertian tersebut cukup jelas memberikan awasan bahwa berpikir itu sebuah aktivitas ilmiah, bukan sekadar mengkhayalkan sesuatu semata. Di sana, ada unsur kritis dan daya aktif sekaligus kontemplatif. Ketika saya berpikir, artinya saya menciptakan relasi antara apa yang saya cerna dalam otak dengan kenyataan konkret yang saya alami. Berpikir seperti itu menghindarkan manusia dari kecenderungan untuk menerima saja apa yang ada tanpa reaksi. Di tengah membanjirnya informasi dan perkembangan dunia teknologi yang memungkinkan manusia kehilangan sikap kritis, berpikir menjadi begitu penting.

Dalam sejarah pemikiran Barat, istilah pencerahan (aufklarung) oleh Immanuel Kant, dipahami sebagai “Ausgang aus der selbsterverschuldeten Unmundigkeit”, pembebasan manusia dari ketergantungan, ketidak-matangan yang sering diciptakan sendiri. Latar belakang lahirnya konsep seperti itu dilandasi oleh ketegangan semasa abad pertengahan dan skolatisisme. Sebuah masa di mana tampil begitu banyak pengarang Gereja dan apologet. Secara singkat, dapat disimpulkan bahwa para pemikir Kristen pada abad ini percaya akan suatu revelasi ilahi yang definitif di mana Allah adalah penentu dan pusat gerak manusia (teosentrisme). Imbasnya jelas: gereja dilihat sebagai penampakan Allah di bumi (Roma locuta cause finite est—Roma dan otoritasnya adalah benar satu-satunya). Sejak teologi Thomas Aquinas, otoritas agama dikukuhkan di atas apa pun dan iman adalah panglima bagi akal.

Rene Decartes, filsuf Prancis pada akhirnya membalikan pandangan dari teosentrisme menjadi antoposentrisme (manusia sebagai titik tolak—bukan Tuhan yang kosmis) melalui adagiumnya: cogito ergo sum. Itulah masa di mana muncul ilmu-ilmu modern dan penemuan dunia baru yang menegaskan bahwa manusia semakin mandiri. Ada kepercayaan akan kemampuan manusia (humanisme).

Penjelasan di atas bukan bermaksud untuk mendepak otoritas agama dan peranan wahyu dalam keseharian hidup. Sebaliknya, terdapat suatu gejala baru yang, karena adanya keterjaminan hidup, membuat orang malas berpikir. Agama pada akhirnya menjadi pilihan terakhir untuk melarikan diri dari pelbagai beban hidup yang tak tertangguhkan. Itu berjalan simetris dengan untuk menyelesaikan persoalan human trafficking, orang berdoa.

 

Wadah Merawat Aktivitas Berpikir

Dewasa ini terdapat sebuah gejala kemalasan berpikir. Institusi keluarga belum secara maksimal memberikan ruang demi perkembangan proses berpikir anak. Di sekolah, sistem pendidikan tidak memungkinkan peserta didik berpikir secara mandiri. Banyak mahasiswa yang sesudah lulus, gagap dalam sikap kritis dan menerima begitu saja apa yang sudah ada (taken for granted). Tidak sedikit guru yang hanya menuntut predikat kelulusan secara kuantitas (persentase) meskipun mengabaikan aspek penting lain seperti pendampingan belajar, evaluasi, dan monitoring. Padahal semua kita tahu, perkembangan dunia sangat ditentukan oleh komposisi pikiran. Karena keterjaminan hidup, orang lalu dimanjakan untuk tidak perlu berpikir dan bersikap kritis. Hasilnya tidak sedikit orang yang enggan peduli pada persoalan sosial kemanusiaan.

Seseorang pernah mengajukan alasannya mengapa ia tidak memasukkan anaknya ke sekolah menengah yang diasuh oleh yayasan katolik atau sekolah swasta lainnya. Menurut dia, anaknya selalu mengeluh karena menurut pengakuan temannya, di sekolah tersebut, peserta didik dibebankan oleh begitu banyaknya tugas. Belum lagi, wajah para guru yang cenderung muram (pasang tampang killer). Memang, penilaian tersebut bukan berarti menggeneralisasi wajah semua sekolah katolik. Namun, sebagaimana spirit dasar dibentuknya sekolah katolik, bukankah wajah Kristus adalah cinta dan belas kasih? Bertolak dari esensi itu, komponen pendidikan di sekolah katolik hendaknya menampilkan karakter cinta kasih. Keengganan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya bukan di sekolah katolik melainkan di sekolah bertaraf internasional atau sekolah negeri justru dilatarbelakangi oleh semakin memudarnya aspek cinta kasih di sana. Ketika para guru menghabiskan waktunya dengan duduk bersama para siswa dan mengerjakan tugas mereka, di situlah spiritualitas kekatolikan diaplikasikan. Ketika para guru hadir dalam kelembutan dan mencari sampai menemukan model pendekatan yang sesuai dengan karakter para siswa, di situlah inkarnasi terjadi. Atau ketika bersama para siswa, guru menciptakan suasana keakraban terutama dalam meningkatkan kapasitas berpikir, di sanalah apa yang disebut oleh filsuf Sokrates sebagai teknik kebidanan (maieutika tekhne) terwujud. Maksudnya, guru dimengerti bukan sebagai sarana tetapi juga pelaku pendidikan yang tidak hanya menjejali pikiran peserta didik dengan aneka konsep dan pemikiran tetapi merangsang mereka untuk berpikir dan mempertanggungjawabkan isi pikirannya.

Fenomenologi

Di mana-mana, begitu banyak buku ditulis bahwa filsafat berawal dari rasa kagum (philosophy begins with wonder). Tetapi patut diingat kalau kekaguman tidak akan pernah ada tanpa aktivitas berpikir. Pada level tersebut, seorang filsuf bukan lagi dituntut sekadar merasa kagum pada kecantikan atau ketampanan seseorang setelah dia menjadi mantan pacar misalnya, tetapi lebih kepada sebuah sikap mencurigai. Mempertanyakan segala sesuatu, mendiskusikan segala sesuatu, dan tidak pernah merasa puas dengan kesimpulan, serta cenderung bertahan dengan hipotesis merupakan ciri otentik seorang filsuf (bukan semata-mata mahasiswa kelas Filsafat saja). Untuk bisa mencapai taraf tersebut, orang patut berpikir secara fenomenologis. Edmund Husserl (1859-1988) mendefinisikan fenomenologi sebagai ilmu tentang hal-hal yang menampakkan diri (phainomenon). Perasaan, benda, peristiwa, pikiran, lembaga sosial, dan sebagainya disebut sebagai fenomen ketika terlihat oleh kesadaran. Maurice Natason memahami fenomenologi sebagai a science of beginnings. Untuk bisa berfenomenolgi, orang mesti bersikap sebagai pemula. Maksudnya, sebuah sikap yang memungkinkan kita melihat “seolah-olah” fenomen itu untuk pertama kalinya dilihat. Dengan kata lain, barangsiapa mencari kedalaman, mulailah dengan yang dangkal-dangkal dan melihat kedangkalan itu dengan tatapan yang cermat dan dalam maka kedalaman akan muncul dari hal-hal yang bersifat permukaan itu. Semuanya itu hanya bisa tercapai dengan berpikir. Dan tentu saja kekayaan metode berpikir seseorang juga perlu didukung oleh adanya diskusi, kebiasaan membaca, sikap tak tahu malu untuk bertanya, dan keengganan untuk menerima apa saja sebagai dogma. Bagaimana mau merawat pikiran kalau hanya untuk berpikir saja kau malas. Itu pun asal kau mau repot!

Dipublikasikan pada rubrik Opini HU Flores Pos, 27 Juni 2016.

Demokrasi dan Kekecewaan Para Mantan

Oleh Hans Hayon*

 

Demokrasi bukanlah bak penampung air hujan yang, kalau kapasitasnya kecil, air akan tumpah ke luar. Atau sebaliknya, sebesar apa pun bak penampung tersebut, hujan tidak pernah berjanji untuk menjatuhkan tetesannya ke bumi sesuai dengan ukuran bak tersebut, bukan? Dengan demikian, demokrasi, di satu sisi memang sungguh menjadi sarana representasi paling kece, tetapi di lain sisi justru terdapat banyak hal yang luput dari perhatiannya. Gerakan separatisme, pemberontakan, demonstrasi, dan beberapa kisruh politik merupakan salah satu dari sekian banyak bukti bahwa demokrasi memang tidak pernah mencukupi. Demokrasi itu seperti hasrat; yang kalau dipenuhi berarti demi bertumbuhan hasrat yang lebih baru lagi. Begitu seterusnya.

Kekecewaan pada sistem demokrasi di Indonesia mencerminkan betapa muaknya rakyat di hadapan pelbagai kebijakan yang cacat. Rakyat muak dengan begitu banyaknya janji politik yang tak kunjung ditepati. Rakyat muak dengan ideal kehadiran Negara yang tidak pernah diwujudkan. Di mata rakyat, Negara hanyalah sosok yang acuh tak acuh. Tidak punya pendirian. Dalam kondisi seperti itulah, rakyat lalu memandang dirinya sendiri sebagai seorang mantan yang percuma. Lebih parahnya lagi kalau sampai ada orang yang bertanya, “Siapa itu rakyat”? Duh, coba bayangkan, betapa sakit dan menderitanya diperlakukan demikian.

 

Humor versus Keterbatasan

Predikat “mantan” yang disematkan pada rakyat bukanlah sebuah lelucon. Dalam filsafat humor, tidak ada lelucon tanpa korban. Artinya, untuk menciptakan atau membuat penikmat lelucon tertawa, dibutuhkan korban. Nah, dalam konteks itulah, lelucon politis seperti mantan di atas, dibuat karena rakyat sedang menderita tekanan psikologis. Bayangkan saja, apa yang bisa kau perbuat bila dalam kondisi seperti itu? Sekadar menghibur diri, mau tidak mau, manusia butuh menertawakan nasibnya sendiri. Menertawakan ketidakmampuannya menghadapi persoalan hidup yang jauh di luar kapasitas untuk mengatasinya. Termasuk menertawakan kekurangan diri setelah menjadi mantan di hadapan kekasih yang usai membanting pintu, dengan begitu mudahnya move on tanpa perasaan.

Sampai pada taraf itu, kehadiran Negara merupakan satu-satunya jalan keluar demi menyelamatkan mantan dari kecenderungan banal seperti mengupayakan separatisme. Mengatasi hal ini, dibutuhkan adanya sistem pendidikan yang menjangkau segala lapisan termasuk para mantan yang sering diabaikan. Jika anda mendidik seorang kekasih berarti anda mendidik seorang manusia tetapi jika anda mendidik seorang mantan dan jomblo berarti anda mendidik seluruh bangsa. Alasannya sederhana, apalah artinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) jika beberapa daerah lalu memilih untuk merdeka seperti Timor Leste?

Patut disadari bahwa konsep mantan hanya akan ada ketika seseorang merasa diabaikan dan tidak diperhatikan dalam suatu relasi. Semua orang tahu baik tentang hal ini. Fenomena pengabaian seperti itulah yang membuat mantan semakin merajalela di Indonesia. Sebut saja peristiwa “Ledakan di Sarinah, teror ISIS (Islam State of Iraq and Suriah), Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara), Syiah”, dan macam-macam aksi destruktif lainnya menunjukkan bahwa mantan memang butuh diperhatikan. Teror paling narsis seperti ISIS itu seolah-olah ingin mengatakan demikian, “Hei kalian, inilah kami!” Itu menjadi bukti bahwa tujuan utama aksi mereka bukanlah merusak gedung atau membunuh manusia. Bukan! Lebih dari itu, tindakan tersebut demi penegasan identitas bahwa mereka sesungguhnya ada. Sungguh, mereka ingin diperhatikan. Mantan manakah yang tidak cerdas mencuri perhatian publik? Nah, sampai di sini saya membayangkan betapa kadangkala perbedaan-perbedaan di antara kita demikian dalamnya sehingga kita tampaknya menghuni bersama suatu benua, tetapi bukannya suatu negeri.

Rakyat Indonesia seperti sedang berada pada LDR (Long Distance Relationship) taraf akut. Antara rakyat dan pemimpin bangsa ini, terdapat jurang yang tak tersebrangi. Kalaupun ada jembatan yang disebut sebagai demokrasi, toh kendaraan (auto-mobile) seperti itu lebih sering macet ketimbang beroperasi secara baik. Tetapi jujur, saya bangga dengan rakyat Indonesia yang tidak mudah manja.

Mantan sebagai Conditio Sine Qua Non

Taufiq Ismail pernah menulis, “Setiap perjuangan memang menyediakan hal yang tidak enak. Tapi, yang tidak enak adalah bila kita becermin hari ini dan melihat wajah musuh kita kemarin”. Artinya jelas, sekalipun atas cara tertentu, para teroris itu dimusuhi, toh mereka tetap dirindukan, paling kurang oleh para anggotanya. Bahkan mereka justru dianggap sebagai pahlawan bagi kaumnya. Semoga saja para pemimpin bangsa Indonesia yang, kalau becermin hari ini, melihat kumpulan wajah mantannya. Ini bukan harapan, tetapi idealisme. Entah bagaimanapun juga, mantan itu “conditio sine qua non” (tidak bisa tidak, syarat mutlak) demi terselenggaranya pemerintahan demoratis. Ada semacam hukum dalam setiap kekuasaan: Betapapun hebatnya kekuasaan itu, ia masih tetap membutuhkan orang lain (baca: mantan). Sang raja yang sendirian di planet kecil dalam cerita Le Petit Prince karya Antonie de St. Exupery yang termasyhur itu, akhirnya toh meminta seorang manusia lain untuk hadir, sebagai rakyatnya. Ia memang tak bisa bertahta hanya bagi langit yang bungkam. Mungkin karena itulah, George W Bush, Presiden ke-43 Amerika Serikat dalam bukunya “Decision Points” (2010) menulis, “The institution of presidency is more important than the person who holds it”.

 

*Seorang mantan yang hingga saat ini belum bias “move on”.

Kebebasan dari Perspektif Seorang Jomblo

Oleh Hans Hayon*

 

Kalian pasti pernah mendengar pernyataan “Menjadi jomblo itu pilihan” dan menganggap bahwa hal itu biasa-biasa saja. Tetapi bagi saya, terdapat persoalan serius dalam kalimat tersebut yakni penggunaan kata “pilihan”. Jika disuruh memilih, tidak mungkin tidak ada option A, B, atau C yang disodorkan terlebih dahulu kepada si Pemilih, bukan? Nah, kejanggalan akan muncul bila terdapat deksripsi lanjutan seperti, “Engkau bebas memilih antara A, B, atau C”. Bagi saya, ini aneh! Apa itu kebebasan? Mengapa ada keyakinan nan mulia bahwa pilihan seseorang menjadi jomblo itu murni dari hati nuraninya yang terdalam? Saya tidak yakin.

Dalam salah satu adegan Film “The Lady” yang disutradarai oleh Luc Besson, seorang tokoh pemerintah Myanmar menginterogasi Aung San Suu Kyi dari liga pro-demokrasi. “Engkau bebas memilih antara menyelamatkan negaramu ataukah keselamatan keluargamu,” katanya. Beberapa menit berselang, Aung San Suu Kyi mengangkat mukanya. Dengan mata memerah karena sedih, ia mengucapkan sesuatu yang kedengarannya gagal menjadi kalimat tanya: “Apa itu kebebasan?” Pada akhirnya, film tersebut ending dengan meluapnya dukungan publik kepada Aung Sann Suu Kyi yang beberapa tahun berselang dianugerahi nobel perdamaian. Namun, seperti Indonesia, kita tahu persis bahwa demokrasi adalah sebuah sistem yang tidak pernah selesai. Selalu saja ada hal yang luput, terabaikan, tidak dihiraukan sama sekali. Salah satunya adalah kebebasan. Ia hanya akan ada ketika tidak hadir.

Tentang kebebasan, ada dua konsep dasar yakni bebas untuk dan bebas dari. Seseorang yang terlanjur menjadi jomblo terjerat dua kemungkinan seperti ini: Pertama, ia bebas untuk menjadi jomblo atas dasar kehendak bebas demi proses aktualisasi diri yang lebih baik. Kedua, ia menjadi jomblo setelah bebas dari tekanan sosio-psikologis tatanan masyarakat. Kesimpulannya jelas: Tidak pernah ada jomblo yang sungguh-sungguh bebas. Alasannya, agar bisa bebas mengaktualisasikan diri secara baik, kaum jomblo otomatis harus punya kapasitas lebih untuk bisa keluar dari stereotip masyarakat bahwa dirinya tidak atau belum laku. Lebih celakanya lagi kalau jomblo itu sejajar dengan mantan yang gagal move on. Banyangkan saja; kata “gagal” itu jauh lebih perih daripada keberhasilan yang tertunda. Dengan demikian, jika Anda pernah mendengar ada pengakuan dari seseorang penyandang predikat jomblo bahwa dirinya bebas, jangan mudah percaya. Anda hanya bisa percaya, kalau jomblo jenis itu berasal dari galaksi lain dengan penghuninya homogen baik lelaki atau perempuan saja.

Jomblo yang Terintimidasi

“Time is kind friend”, seorang penyair wanita yang sedih menulis, “it makes us old” (waktu adalah teman baik. Ia membuat kita tua). Ia membuat sederet nama jadi sejarah. Jomblo mana yang tidak panik bila mendengar atau membaca kalimat seperti itu? Tanpa bisa ditolong, sekalipun dengan napas buatan, nasib kaum jomblo sedang berada di atas tanduk. Terombang-ambing antara status sebagai mantan kekasih dan kegagalan PDKT malam Minggu kemarin. Itulah alasan mengapa hari yang paling dibenci adalah malam Minggu. Puncak kepanikan kaum jomblo justru diperparah oleh sistem pemikiran yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Entah dari mana datangnya, konsep berpasang-pasangan itu seolah-olah merupakan hal yang normatif. Kalau bukan karena faktor genetika, menjadi jomblo dengan alasan seluhur apa pun, dinilai sebagai sebuah ketimpangan serius. Tanpa bisa dielak, terdapat bias jender dalam konsep seperti itu. Perkawinan heteroseksual misalnya, telah menjadi tolak ukur untuk melarang Lesbian, Guy, Biseksual, dan Transjender (LGBT). Demikian pula dengan jomblo. Komunitas seperti itu hidup dalam tekanan dan intimidasi sosial tanpa pernah ada solusi yang berani ditempuh hingga saat ini.

Bagaimana Caranya Menjadi Jomblo yang Bebas

Menjadi bebas identik dengan konsep bebas untuk seperti yang sudah saya jelaskan di atas. Setiap orang yang, dengan kehendak bebas memilih menjadi jombo, perlu memiliki aspek-aspek sebagai berikut:

Pertama, berjiwa misioner. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan kata “misi” sebagai sebuah perutusan yang dikirim oleh negara ke negara lain untuk melakukan tugas khusus dalam bidang diplomatik, politik, perdagangan, kesenian, dan sebagainya; Tugas yang dirasakan orang sebagai suatu kewajiban untuk melakukannya demi agama, ideologi, patriotisme, dan sebagainya; Kegiatan menyebarkan Kabar Gembira dan mendirikan jemaat setempat, dilakukan atas dasar pengutusan sebagai kelanjutan misi Kristus. Dalam Gereja Katolik, penjelasan tentang seseorang yang berjiwa misioner melekat erat dalam sosok pastor, imam, dan biarawan/ti. Menariknya, semua mereka itu memilih menjadi jomblo secara militan. Nah, jomblo seperti inilah yang saya maksudkan dengan jomblo berjiwa misioner. Mereka lebih mementingkan idealisme ketimbang keterikatan diri pada dunia.

Kedua, berjiwa revolusioner. Jomblo jenis ini hendaknya memiliki ketahanan jiwa yang tidak biasa. Demi perkembangan dan kemajuan bangsa, seseorang lalu memutuskan menjadi jomblo agar memiliki konsentrasi yang lebih terfokus pada tujuan yang ingin dicapai. Latar belakang pendidikan yang berkualitas memungkinkan seseorang menjadi jomblo seperti ini. Jomblo demikian, tidak gampang egois bila berhadapan dengan carut marut situasi sosial dewasa ini. Sambil memanfaatkan kecerdasan intelektual, mereka berjuang mati-matian demi terselenggaranya sistem pemerintahan yang adil dan bersih.

Akhirnya, kebebasan seorang jomblo sebenarnya tidak tergantung pada atau dari konteks sosial masyarakat di mana ia ada dan hidup. Lebih dari itu, kebebasannya lahir dari aktivitas berpikir dan bertindak. Untuk itu dibutuhkan kepekaan dan sikap cepat tanggap. Karena alasan itulah maka menjadi jomblo yang bebas memang meminta tanggung jawab yang tidak biasa.

“Kursi Retak” Mengolok-Olok NTT

(Pementasan Kursi Retak oleh Kelompok Teater Evergrande Syuradikara)

Oleh Hans Hayon

Wartawan dan Redaktur HU Flores Pos

Panggung dalam keadaan gelap, sebelum backingsound memperdengarkan bunyi “Zoom” disusul dengan sekelompok pelakon memperagakan gerak teatrikal secara serentak, patuh, mitis. Mengenakan pakaian berwarna hitam dan putih secara acak, delapan kelompok orang mempresentasikan karakter manusia yang, di hadapan persoalan sosial, memilih apatis, masa bodoh, dan dengan sikap enggan. Teater Kursi Retak merupakan naskah ke-4 setelah Patah, Versus,dan Separuh Napas,yang semuanya diperankan oleh Kelompok Teater Evergrande Syuradikara pada hari Jumat, (17/6) di Lapangan bola kaki SMA Syuradikara, Ende. Pada Kursi Retak, penulis naskah sekaligus sutradara, Pater Yohan Wadu, SVD begitu cerdas mengambil kesimpulan bahwa segala jenis persoalan yang dihadapi oleh manusia sebenarnya berawal dari ketidaksetiaan dalam mengemban tanggung jawab yang dilambangkan dengan “Kursi”. Ketika guru tidak bertanggung jawab dalam profesinya sebagai pendidik dan bukan sekadar mengajar, kursinya telah retak. Ketika para pemimpin tidak bertanggung jawab dengan amanat yang diberikan kepadanya, ia telah berkhianat pada kursinya. Ketika murid malas belajar, ia mengabaikan kursinya sebagai tulang punggung bangsa. Dengan demikian, kursi bukan hanya untuk sebuah suksesi dan politik bukan semata-mata berurusan dengan kuasa. Kursi dari kacamata Kursi Retak menampilkan transendensi tanggung jawab dan oleh sebab itu politik adalah pengabdian dari kau yang bekerja di bengkel, dari kau yang mabuk di jalan, dari kau yang memimpin kabupaten, dari kau yang tinggal di pastoran dan biara, dari kau yang mengajar di kelas, dan dari kau yang mengajarkan hal-hal baik kepada anak-anakmu untuk mengabdi kepada Pertiwi.

Sisi lain yang menjadi titik paling penting dalam memahami alur dan inti pesan teater di atas yakni dialog para tokoh dan respon yang tercipta. Pelakon utama, seorang perempuan tampak duduk di tanah sambil terisak. Mengenakan balutan kain berwarna hitam sempurna, sesekali ia menangis sesunggukan diselingi suara tertawa seperti memparodikan dirinya sendiri. Teknik parodi tersebut terdapat dalam akronim yang diberikan pada Provinsi NTT: Nanti Tuhan Tolong dan Nanti Tuhan Tegur. Pada bagian lain, parodi juga tampak ketika pelakon yang duduk berkelompok di sisi kiri dan kanan serta sisi tengah panggung memberikan reaksi. Ratapan perempuan itu bagaikan kebodohan dan ketololan di mata mereka. Menariknya, dalam waktu yang cukup singkat, pelakon utama sanggup menghantar penonton pada peralihan emosi yang mendadak: tiba-tiba marah, sedih, enggan, dan sangsi. Dari situ, asosiasi penonton digiring pada sebuah konsekuensi, bahwa ketiadaan tanggung jawab sosial justru mengakibatkan korban yang sepanjang pementasan teater tampak tergelatak kaku di kursi. Bergeming, seakan menegaskan bahwa ada manusia yang “mati sebelum meninggal”.

Seni Teater dan Revolusi

Yohan Wadu, sang sutradara menegaskan bahwa inti dari teater ini mengandung beberapa pokok pikiran antara lain: Pertama, merevalitasi pemahaman masyarakat tentang sebuah kursi. Artinya, ketika mendengar atau berbicara tentang kursi, asosiasi orang hendaknya bukan saja diarahkan pada sebuah suksesi melainkan lebih pada pengabdian. Dalam konteks tersebut, setiap orang mendapat porsi yang sama tentang seperti apa pengabdiannya di sekolah sebagai guru, di bengkel sebagai ahli mesin, di kebun sebagai petani, dan di kantor sebagai pegawai, dan sebagainya. Tuntutan atas pengabdian yang tidak pernah selesai itulah, membuat yang sutradar Kursi Retak menghadirkan kembali “kelupaan” masyarakat dewasa ini yang karena tuntutan ekonomis lebih mengutamakan keuntungan dalam setiap pekerjaan ketimbang luhurnya nilai sebuah pengabdian. Kedua, posisi perempuan dalam kebudayaan. Satu hal menarik lainnya adalah bagaimana kepekaan sutradadra dalam membaca peran seorang perempuan dalam kehidupan sosial. Dalam kebudayaan yang lebih mengutamakan peran kaum laki-laki, kaum perempuan sering dimarginalisasi bahkan sejak dalam pikiran. Nah, dalam teater ini, sutradara menampilkan hal tersebut sambil mencemooh kebudayaan tanpa mesti menjadi seorang penulis “yang mengencingi” tradisi. Terdapat suatu gejala umum bahwa kepekaan sosial perempuan jauh lebih mendalam ketimbang apa pun. Bandingkan misalnya ketika keluarga kekurangan air, perabot rumah yang tidak lengkap, dapur ketiadaan garam, dan pelbagai kebutuhan yang minim, sering dibaca terlebihdahulu oleh seorang Ibu (baca: perempuan). Dan Kursi Retak menampilkan keluhuran peran seorang perempuan dalam keluarga dengan begitu memesona dalam pernyataan, “Kesedihan tidak pernah mengubah kelaminmu, tetapi sikapmu. Itu pun asal kalian mau repot!”

Mengandalkan teknik koreografi yang mitis, Kursi Retak lebih dari sekadar sebuah penampilan “teater musikal” yang biasa. Lebih dari itu, jika ditonton secara reflektif, terdapat suatu nilai yang jauh lebih cerdas. Secara begitu memukau, penonton dimanjakan dengan beberapa kejutan. Ada tendensi ketika sutradara memanfaatkan ketinggian sebagai sarana yang menciptakan “passion” lebih. Selain itu juga kolaborasi antara tarian modern dan didukung oleh pemanfaatan panggung outdoor, teater tersebut mempresentasikan keseharian hidup yang kadang luput dari kacamata manusiawi. Pemilihan beberapa lagu yang dan penempatannya pada setiap babak sengaja ditata begitu tertib. When you believe misalnya, menegaskan kepada pelakon utama bahwa keajaiban akan datang entah dalam dan melalui cara apa pun asal manusia percaya. Bukankah iman bertumbuh dari rasa percaya dan harapan yang tidak pernah mau pergi? Atau lagu Bongkar karya Iwan Fals yang dinyanyikan oleh dua orang pelakon perempuan sambil menggali tanah. Bagian ini paling saya suka. Alasannya bukan karena suara penyanyinya bagus tetapi karena teknik koreografi yang dipakai begitu memukau: keduanya bernyanyi sambil menggali tanah dan menemukan kertas bertuliskan “Pelecehan seksual, korupsi, malas, bolos, dan diskriminasi”. Pada titik itulah, perempuan dipandang sebagai penemu masalah sosial karena sifatnya yang peka, cepat tanggap, dan selalu mau peduli. Lalu, ketika dikaitkan dengan budaya patriarkat, berapa besar kuota perempuan yang duduk di kursi kepemerintahan?

Menemukan keretakan pada kursi berarti bersedia membongkar hal yang sifatnya konvensional, melembaga, dan sudah menjadi tradisi yang tak jarang bersifat “buruk”. Di situ, setiap orang bebas untuk mencari dan menemukan selanjutnya mengupayakan perbaikan atas kursinya masing-masing. Namun patut diingat bahwa kebebasan berarti tanggung jawab. Oleh karena itu tidak mengherankan jika cukup banyak orang yang berupaya lari daripadanya atau berupaya memanipulasi model dan gaya sebuah tanggung jawab—dalam bahasanya Jurgen Habermas, defusing the past (melunakkan masa lampau). Dalam kondisi seperti itu, pementasan Kursi Retak atas cara tertentu memberikan awasan dan spirit untuk menerjemahkan tanggung jawab ke dalam bahasa yang lebih pragmatis, bahasa rakyat. Hanya dengan demikian, keberhasilan sebuah teater bukan lagi terletak pada kekaguman penonton pada penampakan artifisial semata melainkan lebih pada perubahan hidup. “Art intoduces me to the revolution and revolution intruduces me to the art,” kata Karl Marx.

Dipublikasikan secara bersambung (Feature Harian Umum Flores Pos, halaman 1 dari tanggal 20, 21, 22 Juni 2016).

12196304_1048397928517275_256794587337751728_n

Dua pelakon sedang membawakan puisi sambil menunduk lesu di hadapan sebuah tiang yang pada ujung teratasnya terikat bendera

12189480_1049090675114667_7879727762043420021_o

PKL, kelompok masyarakat yang mempresentasikan orang-orang kecil, marginal, dan terpinggirkan

12185540_1105274999482956_6810921522468381441_o

Pelakon dan crew Teater Evergrande Syuradikara berpose bersama usai pementasan.

11061690_1048395435184191_8518204308979551329_o

Pelakon utama, Chika Puteri, sedang membawakan lagu “I Won’t Give Up”.