Tidak Ada Cinta Tanpa Pelayanan

(Catatan Singkat tentang Kepemimpinan)

 

­­­­

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Seperti kayu kepada api yang menjadikannya abu

 

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Seperti isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

(Sapardi Djoko Damono, Puisi “Aku Ingin” dalam Hujan Bulan Juni).

 

 

 

Penyair Sapardi Djoko Damono dalam puisinya, “Aku Ingin” yang saya kutip pada awal tulisan ini melukiskan dengan sangat bagus seperti apa makna dari mencintai. Menurut penyair tersebut, tidak ada cinta tanpa pengorbanan. Oleh karena itu, ia menulis, “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti kayu kepada api yang menjadikannya abu”. Artinya jelas bahwa mencintai berarti bersedia atau rela dibakar bahkan sampai menjadi semacam abu. Di sini, ada peralihan dari keadaan simbolik kayu kepada abu. Jika bukan karena cinta, jika bukan karena pengorbanan, jika bukan karena nilai-nilai yang luhur dan suci, tidak mungkin seseorang bersedia meninggalkan bentuk aslinya sebagai “kayu” hanya sekadar menjadi “abu”.  Dengan kata lain, ada peralihan dari sikap egosentrisme menuju pengabdian yang total.

Secara sederhana, dapat dijelaskan seperti ini. Mengapa seorang ibu mati-matian berjuang tidak makan meskipun dirinya sedang lapar hanya karena menunggu anaknya yang belum pulang sekolah atau suaminya yang belum kembali dari kebun? Mengapa Yesus rela mati di salib hanya demi menyelamatkan umat manusia yang seratus persen belum tentu juga mencintaiNya? Mengapa Ahok mati-matian blusukan ke daerah-daerah tertinggal hanya karena ingin mendengar keluhan masyarakat secara langsung? Mengapa seorang dosen mesti bersusah-susah menjelaskan sebuah teori yang menurutnya begitu sederhana sekalipun hanya demi dua orang dari lima ratus mahasiswanya belum paham? Jawabannya tidak lain adalah karena cinta. Berkaitan dengan hal itu, orang Inggris mendefinisikan cinta sebagai to love means to reach out the others. Mencintai berarti “menjangkau” hidup orang lain. Maksudnya, Anda dan saya baru bisa mencintai kalau bersedia keluar dari diri (egoisme, ketertutupan diri) dan bersikap solider dengan cara hidup orang lain. Tidak ada lagi kiat paling ampuh selain daripada itu. Jadi, jika ada orang yang mengatakan bahwa dia mencintai namun sikap hidupnya masih jauh dari apa yang ia katakan itu, percayalah, ia pembohong dalam cara yang paling sederhana dan murah.

Dalam artikel ini, saya ingin memaparkan beberapa hal mengenai kepemimpinan, mencintai, dan pelayanan. Sengaja saya memilih kepemimimpinan sebagai subtema karena dipengaruhi oleh beberapa alasan berikut: Pertama, hakikat dari memimpin adalah mencintai dan hakikat dari mencintai adalah melayani. Jadi jelaslah bahwa memimpin itu berarti melayani. Kedua, di tengah kehidupan zaman ini, dengan adanya perkembangan yang pesat dalam teknologi, informasi, dan komunikasi, tidak sedikit pemimpin yang kurang menyadari makna kepemimpinan. Dalam Orde Baru misalnya, presiden Soeharto menilai bahwa memimpin berarti menguasai. Atau dalam era reformasi, pemimpin dimengerti sebagai sebuah status yang diperoleh demi memuaskan suara mayoritas pemilih. Padahal, kepemimpinan memiliki makna yang jauh lebih mendalam daripada konsep seperti itu.Tidak mengherankan jika model kepemimpinan seperti itu justru mengabaikan suara-suara minoritas. Ketiga, perkembangan zaman seolah-olah memberikan manusia keyakinan baru bahwa memimpin berarti hanya sekadar bisa memimpin diri sendiri. Padahal kita tahu, awasan semacam itu sangatlah tidak cukup. Ada banyak kategori lain dalam konsep kepemimpinan yang mesti terus diperbaharui. Keempat, akhir-akhir ini, pemimpin dengan moralitas yang baik semakin jarang ditemukan. Karena lebih mempertimbangkan aneka kepentingan, banyak aspek malah diabaikan begitu saja dalam sebuah masyarakat.

 

Pemimpin sebagai Pelayan

Semua orang tentu sudah tahu apa itu pemimpin. Secara singkat dan sederhana, pemimpin didefinsikan sebagai orang yang memimpin dengan cara menuntun, melatih, dan memandu orang lain untuk mencapai sesuatu yang telah disepakati secara bersama. Dalam menjalankan tugasnya itu, seorang pemimpin membutuhkan kepemimpinan sebagai sebuah pegangan. Dalam kaitannya dengan hal itu, kepemimpinan adalah perihal memimpin atau cara memimpin. Di dalam konsep kepemimpinan, dijelaskan mengenai apa yang seharusnya atau sebaiknya tidak dilakukan oleh seorang pemimpin.

Selanjutnya, pemimpin disebut sebagai pelayan ketika dia menempatkan pelayanan sebagai titik tolak dalam tugas kepemimpinanannya. Tipe pemimpin seperti itu dilukiskan secara bagus sekali oleh Rabindranath Tagore dalam salah satu sajaknya, “Saya tertidur dan bermimpi bahwa hidup adalah kegembiraan. Saya bangun dan melihat bahwa hidup adalah untuk melayani. Saya melayani dan saya mengerti bahwa melayani adalah kegembiraan itu”. Melalui pernyataan di atas, Tagore ingin menunjukkan bahwa pemimpin yang sejati adalah dia yang, dalam menjalankan tugas kepemimpinannya, telah mencapai ideal bahwa melayani itu sebuah kegembiraan.

Di tengah kemajuan zaman di mana segala sesuatu diukur berdasarkan pertimbangan akal sehat antara untung dan rugi, kalah dan menang, melayani merupakan tema yang sering dibahas secara sambil lalu dan kemudian ditempatkan di dalam laci. Sangat jarang dijumpai ada seorang pemimpin yang melayani sampai merasa sakit dan berpikir bahwa rasa sakit itu justru adalah hal yang menggembirakan.

 

Tidak Ada Cinta Tanpa Pelayanan

Cinta itu apa, bagaimana, darimana asalnya, kemana orientasinya, dengan cara apa ia bekerja, dan seterusnya, adalah pertanyaan-pertanyaan dasar yang selalu fakultatif jawabannya. Cinta adalah sebuah keadaan, makhluk atau entitas, yang kita merasa dekat bahkan terintegrasi ke dalamnya, tapi secara paradoksal justru kita tidak pernah (bisa/mungkin) memahaminya. Dalam dunia abstrak, mungkin cinta menempati strata abstraksi tertinggi, yang selalu gagal kita tangkap-bekap, kita rumuskan, falsifikasi, materialisasi atau kita ukur, tidak sebagaimana beberapa abstraksi di strata-strata di bawahnya. Sepanjang sejarah kebudayaan manusia, manusia merasa dipengaruhi, ditelanjangi, diperangkap bahkan disubordinasi oleh cinta, tanpa ia memiliki kapasitas kebudayaan apa pun untuk mengerti apa sesungguhnya “makhluk” yang begitu berkuasa itu.

Cinta tampaknya telah menjadi penguasa abadi yang manusia mati-matian ingin menggeser posisi itu, atau sekurangnya menjadi partner terbaik, untuk ikut merasakan kekuasaan itu. Kekuasaan yang tak tersentuh dan membuat kebudayaan (bangsa seluruh dunia) secara obsesif mendambakannya. Tapi makhluk satu itu bergeming. Ia ada dalam realitasnya sendiri. Ia ada untuk memengaruhi, bukan sebaliknya. Ia seperti tangan Tuhan yang menjalankan kuasaNya, tanpa makhluk lain dapat menggugat, mengganggu, atau mengoreksinya. Tuhan bicara melalui cinta. Itulah alasannya mengapa orang selalu menutup mata ketika berdoa, ketika menangis, atau ketika menyelami secara mendalam suatu peristiwa. Karena, hal-hal yang indah itu tidak bisa dilihat dengan mata tetapi dengan hati. Saya berani menyimpulkan demikian karena hati adalah mata yang tidak pernah tertutup. Mungkin karena alasan yang sama itulah, William Shakespeare menulis, “Cinta bukan dilihat dengan mata, tetapi dengan hati. Oleh sebab itulah, dewi cinta yang bersayap selalu dilukiskan buta”.

Sebagaimana yang telah ditegaskan sebelumnya, tidak ada cinta tanpa pelayanan. Dikatakan demikian karena hanya melalui pelayanan, cinta menemukan wujudnya yang paling konkret. Karena alasan seperti itulah, Yesus Kristus sang Pemimpin Ulung rela menderita dan wafat di salib untuk menunjukkan bahwa tidak ada cinta tanpa pelayanan dan pengorbanan. Melalui cara hidup yang demikianlah manusia kemudian disadarkan bahwa di dalam kasih, Allah ditemukan di dalam dunia dan di dalam dunia Allah ditemukan di dalam kasih.

Ada hubungan yang sangat erat antara mencintai dan melayani. Seseorang dikatakan sedang mencintai ketika ia dengan segala kemungkinan yang ada berupaya membuat orang lain bahagia sekalipun karena itu ia menanggung risiko tertentu yang baik itu sudah bisa ia bayangkan sebelumnya maupun yang sama sekali tidak ia prediksikan. Seperti ada hal kosong dalam dirinya yang hanya bisa diisi oleh orang lain. Dalam upaya mewujudkan rasa cintanya itu, ia bahkan berupaya menyesuaikan dirinya untuk hidup dalam cara hidup orang lain. Mulai dari gaya berpikir, cara bergaul, tutur kata, sikap, orientasi, dan harapan, hingga idealisme, disesuaikan dengan yang dimiliki oleh orang lain yang kepadanya ia pertaruhkan rasa cintanya itu.

 

Mencintai Berarti Berharap

Filsuf eksistensialis dari Prancis, Gabriel Marcel mengatakan bahwa mencintai seseorang berarti berharap kepadanya untuk selamanya. Sama saja hubungan manusia dengan Tuhan. Jika kita tidak miskin, tidak mengharapkan apa-apa dari padaNya, jika kita tidak ingin mendengarkanNya maka sebabnya adalah kita sudah tidak lagi mencintaiNya, tidak lagi percaya kepadaNya. Sejak kita tidak memperhatikan lagi saudara-saudara kita, suami dan isteri, sejak kita tidak mengharapkan sesuatu dari orang lain, itu berarti kita tidak mencintai mereka lagi. Kita menganggap dan memperlakukan orang lain sebagai barang sebab perhatian dan pengharapan menentukan sikap kita terhadap orang lain.

Dengan mencintai Tuhan, sebenarnya manusia sedang berupaya mencintai dirinya sendiri. Mencintai diri sendiri merupakan titik tolak untuk mulai mencintai sesama. Oleh karena itu, saya bisa katakan, mencintai Tuhan berarti mencintai semua ciptaanNya tanpa kecuali. Paus Fransiskus dalam salah satu audensinya seperti yang dikutip oleh New York Times mengatakan, “Saya percaya pada Tuhan, tetapi bukan Tuhannya orang Katolik.” Betapa mencengangkan pernyataan seperti itu. Demikian juga Mahatma Gandhi yang berani mengatakan, “Saya tidak memeluk agama tertentu. Agama saya adalah kemanusiaan.” Mencermati pernyataan kedua tokoh terkenal di atas, saya berani menyimpulkan bahwa mencintai Tuhan berarti mencintai Dia secara tak terbatas baik dari segi kualitas maupun caranya. Tanpa batas atau sekat primordial. Bulan bergerak tanpa berisik dan kembang mekar dalam diam.

 

Mencintai: Bergerak Keluar

Sebagaimana yang kita ketahui, cinta butuh “sarana” atau sesuatu yang melaluinya cinta itu menjadi mungkin. Penyair Sapardi Djoko Damono dalam puisinya Aku Ingin menulis, “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Seperti kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti isyarat yang tidak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”. Betapa sederhananya mencintai itu.

Berkaitan dengan hal di atas, orang Inggris mendefinisikan cinta sebagai to love means to reach out di mana mencintai berarti menjangkau orang lain. Nah, bagaimana sampai seseorang bisa menjangkau orang lain? Hal pertama yang perlu dilakukan adalah bergerak keluar dari diri. Lihatlah kura-kura! Satu-satunya kesempatan yang bisa membuat kura-kura melangkah maju adalah karena dia berani menjulurkan kepalanya ke luar. Tidak pernah ada “mencintai tanpa bergerak keluar dari diri”. Hanya melalui proses keluar dari sikap egoisme, ekslusivitas, dan kemapanan diri itulah, terdapat kemungkinan untuk mencintai. Dengan demikian, kita sering menemukan ungkapan seperti: “Aku mencintaimu karena aku peduli pada hidumu”. Aku mencintaimu karena aku paham seperti apa kebutuhanmu, dan seterusnya.  Model mencintai seperti ini sudah sepatutnya dimiliki oleh seorang pemimpin terutama dalam bersikap tanggap dan responsif terhadap apa yang paling dibutuhkan oleh orang lain. Dalam konteks itu, seorang pemimpin dituntut untuk memberikan perhatian yang proporsional dalam memanusiakan orang atau sekelompok orang yang ia cintai. Jika ia mengasihani orang miskin, pemimpin yang menjalankan kepemimpinannya karena kuasa akan memberikan ikan kepada mereka yang tidak mempunyai lauk. Sebaliknya, pemimpin yang menjalankan kepemimpinanannya karena cinta akan memberikan kail dan berusaha melaut bersama-sama.

Di samping itu juga, melalui proses mencintai, seseorang dihadapkan pada kenyataan lain bahwa ternyata hidup dirasa begitu timpang tanpa kehadiran orang yang dicintai. Demikian pula mencintai Tuhan merupakan salah satu alasan mengapa orang selalu merasa begitu berdosa di hadapanNya. Saya katakan begitu karena Tuhan adalah tempat terbaik manusia meletakkan cermin dirinya. Bayangkan saja pada suatu ketika Tuhan berdiri bagaikan sebuah cermin jernih di hadapanmu, kamu memandang ke dalam diriNya dan melihat bayanganmu. Kemudian kamu berkata, kucinta kamu. Tetapi sebenarnya, kamu mencintai dirimu dalam diriNya.

Sayangnya, seiring perkembangan zaman, manusia cenderung ingin menjadi seorang pribadi dewasa dan otonom. Tetapi di hadapan cinta, kita diajak menjadi seperti anak kecil, bukan sebagai orang dewasa yang otonom. Peribahasa sanskrit mengatakan, “Kalau sungai masuk ke laut, ia lupa akan nama dan kemasyurannya”. Demikian juga, kaum bijak dan pandai dari dunia ini akan membuang jabatan dan ijazahnya pada saat mereka mendekati dan bertemu dengan Tuhan. Tidak mengherankan bila filsuf dan matematikawan ateis, Blaise Pascal sebelum meninggal menulis bahwa manusia hanyalah sebatang galah yang berpikir, un roseau pensant untuk menjunjukkan sekaligus kedahsyatan manusia dan kerapuhannya.

 

****

Tidak ada hidup spiritual tanpa yang aktual. Tidak mungkin mengakui Allah tanpa bekerja bagiNya. Artinya jelas. Tidak mungkin Anda mengatakan bahwa dirimu sedang mencintai tetapi rasa cinta itu tidak pernah sekalipun ditunjukkan dalam bentuk yang konkret. Cinta butuh alasan untuk bisa bertahan. Selain pengorbanan, bukti itu adalah pelayanan. Sama seperti jika saudarmu menderita kelaparan sementara engkau mempunyai kemungkianan untuk menolongnya, engkau adalah seorang pencuri; dan jikalau dia mati kelaparan, engkau adalah seorang pembunuh.

 

Tinggalkan komentar