Beriman secara Ateistis

 

Agama, mengutip Karl Marx, adalah candu. Dan candu ternyata tidak hanya membuat manusia tertidur namun di samping itu, bermimpi, dan berimajinasi. Inilah hakikat non-dependensi manusia akan hal lain di luar dirinya. Richard Dawkins, seorang pakar biologi menulis dalam The God Delusion: “Bila seseorang menderita paham, gejala itu akan disebut gila. Bila banyak orang menderita paham, gejala itu akan disebut agama”. Kita tahu bahwa pemikiran demikian selalu lahir dari zaman pemutlakan ratio (akal budi) bahkan saat Nietszche mengumumkan “kematian allah” yang menyentak kemapanan teologis hampir semua institusi keagamaan. Pada masa seperti ini, tesis dasar beberapa penulis atheis seperti Christopher Hitchens, Dawkins, dan Sam Harris mungkin patut kita renungkan bersama. Bukankah sebelum lahirnya sintesis dalam proses dialektika, sesungguhnya adalah rentetan anti-thesis?

Ketika Kristus lahir/dunia jadi putih/juga langit yang semula gelap oleh darah dan jinah/jadi lembut seperti tangan bayi sepuluh hari. Penyair Subagio Sastrowardoyo paham betul makna Natal walaupun ia bukan seorang Kristen. Dalam puisinya ini, Natal sesungguhnya bermakna lebih dari pada sebuah pemenuhan harapan akan kedatangan Kristus tetapi juga sebuah sikap sangsi berkelanjutan. Kesangsian akan keadilan, cinta kasih, perdamaian, kesejahteraan, pemerataan pendapatan, dan terlaksananya prinsip HAM mendeskripsikan adanya sebuah iman. Iman yang bertumbuh dari sebuah harapan akan sesuatu yang lain dari yang pernah ada dahulu dan sekarang. Iman yang menegasikan, menolak konvensional dan harmoni masa lampau serta memparodikannya. Dari penggalan sajak di atas, jelas bahwa sebelum Kristus lahir, langit gelap oleh darah dan jinah. Nilai luhur kehidupan tampak kabur oleh nihilisme moralitas; regulasi hukum kian pincang dan “mungkin” buta sesekali. Singkatnya, manusia ketiadaan orientasi hidup. Tidak pernah ada Natal yang sempurna di dunia-manusia. Sebab manusia hanyalah sebatang galah yang berpikir, un roseau pensant, sebagaimana kata Blaise Pascal ketika mencoba menunjukkan serentak kedahsyatan manusia dan kerapuhannya. Berhadapan dengan idealismenya yang gemilang di samping kerapuhannya tidak gagal ‘jatuh’, manusia butuh masa tertentu sebelum memasuki masa Adventus secara berulang-ulang.

Kita mungkin masih ingat. Aneka konflik antarumat Katolik dan Protestan di Irlandia sekitar abad ke-17 dengan dalil pada teks Alkitab dan hancurnya Menara Kembar New York sekaligus menewaskan hampir 3.000 manusia pada 11 September 2001 oleh karena interpretasi doktrin Al Qur’an. Suatu zaman di mana (mungkin juga saat ini) kapitalisme, pasar bebas, dan nihilisme dilihat sebagai agama atau dalam bahasanya Goenawan Mohamad sebagai “harga” yang ditentukan oleh “tangan yang tak terlihat”. Kaum humanis hampir pasti akan mengatakan bukan agama sebagai alasan untuk itu-melainkan manusia. Jika demikian, sudah sejauh mana peranan agama dalam membentuk dunia kemanusiaan? Manusia pada akhirnya akan hilang harap untuk jadi sesama. Penggalan sajak Sitor Situmorang, Si Anak Hilang menegaskan banalitas relasi sosial tersebut. Pada bait I: Si anak hilang kini kembali/tak seorang dikenalnya lagi/berapa kali panen sudah/apa saja telah jadi. Selanjutnya pada bait V: Malam tiba ibu tertidur/bapa lama sudah mendengkur/di pantai pasir berdesir gelombang/tahu si anak tiada pulang. Dengan meningkatnya mobilitas sosial (semua manusia sibuk bergerak) dan anomitas (orang tak lagi saling kenal), agama pada akhirnya hanyalah sebuah fasilitas. Dan fasilitas tidak selamanya menjanjikan apakah seseorang benar-benar menjadi manusia. Sebaliknya, fasilitas dalam perspektif Marx justru membuat manusia teralienasi baik dengan profesionalitas kerja, sesama, maupun dirinya sendiri. Sungguh, agama menyediakan kemungkinan “menjadi orang asing” bagi setiap pemeluknya. Pada level inilah, kita butuh iman yang ateis. Iman yang bergerak menjangkau “teisme” dengan caranya sendiri yang khas, unik, dan menggetarkan. Iman yang ateis senantiasa hidup dalam kemungkinan mutlak yang menempatkan manusia bukan hanya sebagai “makhluk pengharap” melainkan juga “makhluk penggugat”. Apa yang digugat? Realitas ketidakadilan, diskriminasi sosial, kesenjangan privat-publik, terorisme global, dan aneka ketimpangan kebijakan pemerintah itulah yang perlu digugat. Dalam situasi inilah, agama merupakan sebuah kekuatan yang maha dahsyat (walau ia juga bisa menjadi sebuah daya yang tak tahu batas) bersamaan dengan terdengarnya suara para ateis. Pelan. Lambat-lambat namun dengan harap yang tak kunjung lekang.

Tinggalkan komentar