Merawat Pikiran

Oleh Hans Hayon

Alumnus STFK Ledalero

Tinggal di Ende

 

Kau ciptakan malam, tapi kubuat lampu,

Kau ciptakan lempung, tapi kubentuk cupu

Kau ciptakan gurun, hutan dan gunung,

Kuhasilkan taman, sawah dan kebun

 

Salah satu bait puisi Mohammad Iqbal di atas menunjukkan betapa pentingnya proses berpikir yang melaluinya manusia sanggup mengaktualisasikan diri. Aktivitas semisal membuat lampu, membentuk cupu, mengolah kebun—di situlah teknologi ditemukan, dan untuk itu akal dikerahkan.

Sejarah Berpikir

Memang, agak konyol kalau ada pertanyaan, “kapan pikiran itu dimulai”? Atau “dari mana datangnya pikiran”? Untuk mengindari kegelisahan jawaban atas pertanyaan seperti di atas, perlu dipahami seperti apa dan bagaimana sesuatu disebuat sebagai “proses berpikir”. Paul Budi Kleden dalam bukunya Aku yang Solider, Aku dalam Hidup Berkaul (Maumere: Ledalero, 2002, hlm. 20), mendefinisikan berpikir sebagai “sebuah proses memadukan elemen-elemen pengalaman ke dalam sebuah struktur dan menemukan serta menarik garis-garis penghubung antarberbagai elemen itu. Penggarisan atau pemaduan itu selalu mengandaian sebuah horison bersama”. Selanjutnya Paul Budi menulis, “Berpikir adalah juga proses mempertanyakan, memperhatikan horison itu sendiri, mempertanyakan kepentingan dan nilai yang didukung dan diwakilinya”. Pengertian tersebut cukup jelas memberikan awasan bahwa berpikir itu sebuah aktivitas ilmiah, bukan sekadar mengkhayalkan sesuatu semata. Di sana, ada unsur kritis dan daya aktif sekaligus kontemplatif. Ketika saya berpikir, artinya saya menciptakan relasi antara apa yang saya cerna dalam otak dengan kenyataan konkret yang saya alami. Berpikir seperti itu menghindarkan manusia dari kecenderungan untuk menerima saja apa yang ada tanpa reaksi. Di tengah membanjirnya informasi dan perkembangan dunia teknologi yang memungkinkan manusia kehilangan sikap kritis, berpikir menjadi begitu penting.

Dalam sejarah pemikiran Barat, istilah pencerahan (aufklarung) oleh Immanuel Kant, dipahami sebagai “Ausgang aus der selbsterverschuldeten Unmundigkeit”, pembebasan manusia dari ketergantungan, ketidak-matangan yang sering diciptakan sendiri. Latar belakang lahirnya konsep seperti itu dilandasi oleh ketegangan semasa abad pertengahan dan skolatisisme. Sebuah masa di mana tampil begitu banyak pengarang Gereja dan apologet. Secara singkat, dapat disimpulkan bahwa para pemikir Kristen pada abad ini percaya akan suatu revelasi ilahi yang definitif di mana Allah adalah penentu dan pusat gerak manusia (teosentrisme). Imbasnya jelas: gereja dilihat sebagai penampakan Allah di bumi (Roma locuta cause finite est—Roma dan otoritasnya adalah benar satu-satunya). Sejak teologi Thomas Aquinas, otoritas agama dikukuhkan di atas apa pun dan iman adalah panglima bagi akal.

Rene Decartes, filsuf Prancis pada akhirnya membalikan pandangan dari teosentrisme menjadi antoposentrisme (manusia sebagai titik tolak—bukan Tuhan yang kosmis) melalui adagiumnya: cogito ergo sum. Itulah masa di mana muncul ilmu-ilmu modern dan penemuan dunia baru yang menegaskan bahwa manusia semakin mandiri. Ada kepercayaan akan kemampuan manusia (humanisme).

Penjelasan di atas bukan bermaksud untuk mendepak otoritas agama dan peranan wahyu dalam keseharian hidup. Sebaliknya, terdapat suatu gejala baru yang, karena adanya keterjaminan hidup, membuat orang malas berpikir. Agama pada akhirnya menjadi pilihan terakhir untuk melarikan diri dari pelbagai beban hidup yang tak tertangguhkan. Itu berjalan simetris dengan untuk menyelesaikan persoalan human trafficking, orang berdoa.

 

Wadah Merawat Aktivitas Berpikir

Dewasa ini terdapat sebuah gejala kemalasan berpikir. Institusi keluarga belum secara maksimal memberikan ruang demi perkembangan proses berpikir anak. Di sekolah, sistem pendidikan tidak memungkinkan peserta didik berpikir secara mandiri. Banyak mahasiswa yang sesudah lulus, gagap dalam sikap kritis dan menerima begitu saja apa yang sudah ada (taken for granted). Tidak sedikit guru yang hanya menuntut predikat kelulusan secara kuantitas (persentase) meskipun mengabaikan aspek penting lain seperti pendampingan belajar, evaluasi, dan monitoring. Padahal semua kita tahu, perkembangan dunia sangat ditentukan oleh komposisi pikiran. Karena keterjaminan hidup, orang lalu dimanjakan untuk tidak perlu berpikir dan bersikap kritis. Hasilnya tidak sedikit orang yang enggan peduli pada persoalan sosial kemanusiaan.

Seseorang pernah mengajukan alasannya mengapa ia tidak memasukkan anaknya ke sekolah menengah yang diasuh oleh yayasan katolik atau sekolah swasta lainnya. Menurut dia, anaknya selalu mengeluh karena menurut pengakuan temannya, di sekolah tersebut, peserta didik dibebankan oleh begitu banyaknya tugas. Belum lagi, wajah para guru yang cenderung muram (pasang tampang killer). Memang, penilaian tersebut bukan berarti menggeneralisasi wajah semua sekolah katolik. Namun, sebagaimana spirit dasar dibentuknya sekolah katolik, bukankah wajah Kristus adalah cinta dan belas kasih? Bertolak dari esensi itu, komponen pendidikan di sekolah katolik hendaknya menampilkan karakter cinta kasih. Keengganan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya bukan di sekolah katolik melainkan di sekolah bertaraf internasional atau sekolah negeri justru dilatarbelakangi oleh semakin memudarnya aspek cinta kasih di sana. Ketika para guru menghabiskan waktunya dengan duduk bersama para siswa dan mengerjakan tugas mereka, di situlah spiritualitas kekatolikan diaplikasikan. Ketika para guru hadir dalam kelembutan dan mencari sampai menemukan model pendekatan yang sesuai dengan karakter para siswa, di situlah inkarnasi terjadi. Atau ketika bersama para siswa, guru menciptakan suasana keakraban terutama dalam meningkatkan kapasitas berpikir, di sanalah apa yang disebut oleh filsuf Sokrates sebagai teknik kebidanan (maieutika tekhne) terwujud. Maksudnya, guru dimengerti bukan sebagai sarana tetapi juga pelaku pendidikan yang tidak hanya menjejali pikiran peserta didik dengan aneka konsep dan pemikiran tetapi merangsang mereka untuk berpikir dan mempertanggungjawabkan isi pikirannya.

Fenomenologi

Di mana-mana, begitu banyak buku ditulis bahwa filsafat berawal dari rasa kagum (philosophy begins with wonder). Tetapi patut diingat kalau kekaguman tidak akan pernah ada tanpa aktivitas berpikir. Pada level tersebut, seorang filsuf bukan lagi dituntut sekadar merasa kagum pada kecantikan atau ketampanan seseorang setelah dia menjadi mantan pacar misalnya, tetapi lebih kepada sebuah sikap mencurigai. Mempertanyakan segala sesuatu, mendiskusikan segala sesuatu, dan tidak pernah merasa puas dengan kesimpulan, serta cenderung bertahan dengan hipotesis merupakan ciri otentik seorang filsuf (bukan semata-mata mahasiswa kelas Filsafat saja). Untuk bisa mencapai taraf tersebut, orang patut berpikir secara fenomenologis. Edmund Husserl (1859-1988) mendefinisikan fenomenologi sebagai ilmu tentang hal-hal yang menampakkan diri (phainomenon). Perasaan, benda, peristiwa, pikiran, lembaga sosial, dan sebagainya disebut sebagai fenomen ketika terlihat oleh kesadaran. Maurice Natason memahami fenomenologi sebagai a science of beginnings. Untuk bisa berfenomenolgi, orang mesti bersikap sebagai pemula. Maksudnya, sebuah sikap yang memungkinkan kita melihat “seolah-olah” fenomen itu untuk pertama kalinya dilihat. Dengan kata lain, barangsiapa mencari kedalaman, mulailah dengan yang dangkal-dangkal dan melihat kedangkalan itu dengan tatapan yang cermat dan dalam maka kedalaman akan muncul dari hal-hal yang bersifat permukaan itu. Semuanya itu hanya bisa tercapai dengan berpikir. Dan tentu saja kekayaan metode berpikir seseorang juga perlu didukung oleh adanya diskusi, kebiasaan membaca, sikap tak tahu malu untuk bertanya, dan keengganan untuk menerima apa saja sebagai dogma. Bagaimana mau merawat pikiran kalau hanya untuk berpikir saja kau malas. Itu pun asal kau mau repot!

Dipublikasikan pada rubrik Opini HU Flores Pos, 27 Juni 2016.

Tinggalkan komentar