Tidak Ada Cinta Tanpa Pelayanan

(Catatan Singkat tentang Kepemimpinan)

 

­­­­

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Seperti kayu kepada api yang menjadikannya abu

 

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Seperti isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

(Sapardi Djoko Damono, Puisi “Aku Ingin” dalam Hujan Bulan Juni).

 

 

 

Penyair Sapardi Djoko Damono dalam puisinya, “Aku Ingin” yang saya kutip pada awal tulisan ini melukiskan dengan sangat bagus seperti apa makna dari mencintai. Menurut penyair tersebut, tidak ada cinta tanpa pengorbanan. Oleh karena itu, ia menulis, “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti kayu kepada api yang menjadikannya abu”. Artinya jelas bahwa mencintai berarti bersedia atau rela dibakar bahkan sampai menjadi semacam abu. Di sini, ada peralihan dari keadaan simbolik kayu kepada abu. Jika bukan karena cinta, jika bukan karena pengorbanan, jika bukan karena nilai-nilai yang luhur dan suci, tidak mungkin seseorang bersedia meninggalkan bentuk aslinya sebagai “kayu” hanya sekadar menjadi “abu”.  Dengan kata lain, ada peralihan dari sikap egosentrisme menuju pengabdian yang total.

Secara sederhana, dapat dijelaskan seperti ini. Mengapa seorang ibu mati-matian berjuang tidak makan meskipun dirinya sedang lapar hanya karena menunggu anaknya yang belum pulang sekolah atau suaminya yang belum kembali dari kebun? Mengapa Yesus rela mati di salib hanya demi menyelamatkan umat manusia yang seratus persen belum tentu juga mencintaiNya? Mengapa Ahok mati-matian blusukan ke daerah-daerah tertinggal hanya karena ingin mendengar keluhan masyarakat secara langsung? Mengapa seorang dosen mesti bersusah-susah menjelaskan sebuah teori yang menurutnya begitu sederhana sekalipun hanya demi dua orang dari lima ratus mahasiswanya belum paham? Jawabannya tidak lain adalah karena cinta. Berkaitan dengan hal itu, orang Inggris mendefinisikan cinta sebagai to love means to reach out the others. Mencintai berarti “menjangkau” hidup orang lain. Maksudnya, Anda dan saya baru bisa mencintai kalau bersedia keluar dari diri (egoisme, ketertutupan diri) dan bersikap solider dengan cara hidup orang lain. Tidak ada lagi kiat paling ampuh selain daripada itu. Jadi, jika ada orang yang mengatakan bahwa dia mencintai namun sikap hidupnya masih jauh dari apa yang ia katakan itu, percayalah, ia pembohong dalam cara yang paling sederhana dan murah.

Dalam artikel ini, saya ingin memaparkan beberapa hal mengenai kepemimpinan, mencintai, dan pelayanan. Sengaja saya memilih kepemimimpinan sebagai subtema karena dipengaruhi oleh beberapa alasan berikut: Pertama, hakikat dari memimpin adalah mencintai dan hakikat dari mencintai adalah melayani. Jadi jelaslah bahwa memimpin itu berarti melayani. Kedua, di tengah kehidupan zaman ini, dengan adanya perkembangan yang pesat dalam teknologi, informasi, dan komunikasi, tidak sedikit pemimpin yang kurang menyadari makna kepemimpinan. Dalam Orde Baru misalnya, presiden Soeharto menilai bahwa memimpin berarti menguasai. Atau dalam era reformasi, pemimpin dimengerti sebagai sebuah status yang diperoleh demi memuaskan suara mayoritas pemilih. Padahal, kepemimpinan memiliki makna yang jauh lebih mendalam daripada konsep seperti itu.Tidak mengherankan jika model kepemimpinan seperti itu justru mengabaikan suara-suara minoritas. Ketiga, perkembangan zaman seolah-olah memberikan manusia keyakinan baru bahwa memimpin berarti hanya sekadar bisa memimpin diri sendiri. Padahal kita tahu, awasan semacam itu sangatlah tidak cukup. Ada banyak kategori lain dalam konsep kepemimpinan yang mesti terus diperbaharui. Keempat, akhir-akhir ini, pemimpin dengan moralitas yang baik semakin jarang ditemukan. Karena lebih mempertimbangkan aneka kepentingan, banyak aspek malah diabaikan begitu saja dalam sebuah masyarakat.

 

Pemimpin sebagai Pelayan

Semua orang tentu sudah tahu apa itu pemimpin. Secara singkat dan sederhana, pemimpin didefinsikan sebagai orang yang memimpin dengan cara menuntun, melatih, dan memandu orang lain untuk mencapai sesuatu yang telah disepakati secara bersama. Dalam menjalankan tugasnya itu, seorang pemimpin membutuhkan kepemimpinan sebagai sebuah pegangan. Dalam kaitannya dengan hal itu, kepemimpinan adalah perihal memimpin atau cara memimpin. Di dalam konsep kepemimpinan, dijelaskan mengenai apa yang seharusnya atau sebaiknya tidak dilakukan oleh seorang pemimpin.

Selanjutnya, pemimpin disebut sebagai pelayan ketika dia menempatkan pelayanan sebagai titik tolak dalam tugas kepemimpinanannya. Tipe pemimpin seperti itu dilukiskan secara bagus sekali oleh Rabindranath Tagore dalam salah satu sajaknya, “Saya tertidur dan bermimpi bahwa hidup adalah kegembiraan. Saya bangun dan melihat bahwa hidup adalah untuk melayani. Saya melayani dan saya mengerti bahwa melayani adalah kegembiraan itu”. Melalui pernyataan di atas, Tagore ingin menunjukkan bahwa pemimpin yang sejati adalah dia yang, dalam menjalankan tugas kepemimpinannya, telah mencapai ideal bahwa melayani itu sebuah kegembiraan.

Di tengah kemajuan zaman di mana segala sesuatu diukur berdasarkan pertimbangan akal sehat antara untung dan rugi, kalah dan menang, melayani merupakan tema yang sering dibahas secara sambil lalu dan kemudian ditempatkan di dalam laci. Sangat jarang dijumpai ada seorang pemimpin yang melayani sampai merasa sakit dan berpikir bahwa rasa sakit itu justru adalah hal yang menggembirakan.

 

Tidak Ada Cinta Tanpa Pelayanan

Cinta itu apa, bagaimana, darimana asalnya, kemana orientasinya, dengan cara apa ia bekerja, dan seterusnya, adalah pertanyaan-pertanyaan dasar yang selalu fakultatif jawabannya. Cinta adalah sebuah keadaan, makhluk atau entitas, yang kita merasa dekat bahkan terintegrasi ke dalamnya, tapi secara paradoksal justru kita tidak pernah (bisa/mungkin) memahaminya. Dalam dunia abstrak, mungkin cinta menempati strata abstraksi tertinggi, yang selalu gagal kita tangkap-bekap, kita rumuskan, falsifikasi, materialisasi atau kita ukur, tidak sebagaimana beberapa abstraksi di strata-strata di bawahnya. Sepanjang sejarah kebudayaan manusia, manusia merasa dipengaruhi, ditelanjangi, diperangkap bahkan disubordinasi oleh cinta, tanpa ia memiliki kapasitas kebudayaan apa pun untuk mengerti apa sesungguhnya “makhluk” yang begitu berkuasa itu.

Cinta tampaknya telah menjadi penguasa abadi yang manusia mati-matian ingin menggeser posisi itu, atau sekurangnya menjadi partner terbaik, untuk ikut merasakan kekuasaan itu. Kekuasaan yang tak tersentuh dan membuat kebudayaan (bangsa seluruh dunia) secara obsesif mendambakannya. Tapi makhluk satu itu bergeming. Ia ada dalam realitasnya sendiri. Ia ada untuk memengaruhi, bukan sebaliknya. Ia seperti tangan Tuhan yang menjalankan kuasaNya, tanpa makhluk lain dapat menggugat, mengganggu, atau mengoreksinya. Tuhan bicara melalui cinta. Itulah alasannya mengapa orang selalu menutup mata ketika berdoa, ketika menangis, atau ketika menyelami secara mendalam suatu peristiwa. Karena, hal-hal yang indah itu tidak bisa dilihat dengan mata tetapi dengan hati. Saya berani menyimpulkan demikian karena hati adalah mata yang tidak pernah tertutup. Mungkin karena alasan yang sama itulah, William Shakespeare menulis, “Cinta bukan dilihat dengan mata, tetapi dengan hati. Oleh sebab itulah, dewi cinta yang bersayap selalu dilukiskan buta”.

Sebagaimana yang telah ditegaskan sebelumnya, tidak ada cinta tanpa pelayanan. Dikatakan demikian karena hanya melalui pelayanan, cinta menemukan wujudnya yang paling konkret. Karena alasan seperti itulah, Yesus Kristus sang Pemimpin Ulung rela menderita dan wafat di salib untuk menunjukkan bahwa tidak ada cinta tanpa pelayanan dan pengorbanan. Melalui cara hidup yang demikianlah manusia kemudian disadarkan bahwa di dalam kasih, Allah ditemukan di dalam dunia dan di dalam dunia Allah ditemukan di dalam kasih.

Ada hubungan yang sangat erat antara mencintai dan melayani. Seseorang dikatakan sedang mencintai ketika ia dengan segala kemungkinan yang ada berupaya membuat orang lain bahagia sekalipun karena itu ia menanggung risiko tertentu yang baik itu sudah bisa ia bayangkan sebelumnya maupun yang sama sekali tidak ia prediksikan. Seperti ada hal kosong dalam dirinya yang hanya bisa diisi oleh orang lain. Dalam upaya mewujudkan rasa cintanya itu, ia bahkan berupaya menyesuaikan dirinya untuk hidup dalam cara hidup orang lain. Mulai dari gaya berpikir, cara bergaul, tutur kata, sikap, orientasi, dan harapan, hingga idealisme, disesuaikan dengan yang dimiliki oleh orang lain yang kepadanya ia pertaruhkan rasa cintanya itu.

 

Mencintai Berarti Berharap

Filsuf eksistensialis dari Prancis, Gabriel Marcel mengatakan bahwa mencintai seseorang berarti berharap kepadanya untuk selamanya. Sama saja hubungan manusia dengan Tuhan. Jika kita tidak miskin, tidak mengharapkan apa-apa dari padaNya, jika kita tidak ingin mendengarkanNya maka sebabnya adalah kita sudah tidak lagi mencintaiNya, tidak lagi percaya kepadaNya. Sejak kita tidak memperhatikan lagi saudara-saudara kita, suami dan isteri, sejak kita tidak mengharapkan sesuatu dari orang lain, itu berarti kita tidak mencintai mereka lagi. Kita menganggap dan memperlakukan orang lain sebagai barang sebab perhatian dan pengharapan menentukan sikap kita terhadap orang lain.

Dengan mencintai Tuhan, sebenarnya manusia sedang berupaya mencintai dirinya sendiri. Mencintai diri sendiri merupakan titik tolak untuk mulai mencintai sesama. Oleh karena itu, saya bisa katakan, mencintai Tuhan berarti mencintai semua ciptaanNya tanpa kecuali. Paus Fransiskus dalam salah satu audensinya seperti yang dikutip oleh New York Times mengatakan, “Saya percaya pada Tuhan, tetapi bukan Tuhannya orang Katolik.” Betapa mencengangkan pernyataan seperti itu. Demikian juga Mahatma Gandhi yang berani mengatakan, “Saya tidak memeluk agama tertentu. Agama saya adalah kemanusiaan.” Mencermati pernyataan kedua tokoh terkenal di atas, saya berani menyimpulkan bahwa mencintai Tuhan berarti mencintai Dia secara tak terbatas baik dari segi kualitas maupun caranya. Tanpa batas atau sekat primordial. Bulan bergerak tanpa berisik dan kembang mekar dalam diam.

 

Mencintai: Bergerak Keluar

Sebagaimana yang kita ketahui, cinta butuh “sarana” atau sesuatu yang melaluinya cinta itu menjadi mungkin. Penyair Sapardi Djoko Damono dalam puisinya Aku Ingin menulis, “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Seperti kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti isyarat yang tidak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”. Betapa sederhananya mencintai itu.

Berkaitan dengan hal di atas, orang Inggris mendefinisikan cinta sebagai to love means to reach out di mana mencintai berarti menjangkau orang lain. Nah, bagaimana sampai seseorang bisa menjangkau orang lain? Hal pertama yang perlu dilakukan adalah bergerak keluar dari diri. Lihatlah kura-kura! Satu-satunya kesempatan yang bisa membuat kura-kura melangkah maju adalah karena dia berani menjulurkan kepalanya ke luar. Tidak pernah ada “mencintai tanpa bergerak keluar dari diri”. Hanya melalui proses keluar dari sikap egoisme, ekslusivitas, dan kemapanan diri itulah, terdapat kemungkinan untuk mencintai. Dengan demikian, kita sering menemukan ungkapan seperti: “Aku mencintaimu karena aku peduli pada hidumu”. Aku mencintaimu karena aku paham seperti apa kebutuhanmu, dan seterusnya.  Model mencintai seperti ini sudah sepatutnya dimiliki oleh seorang pemimpin terutama dalam bersikap tanggap dan responsif terhadap apa yang paling dibutuhkan oleh orang lain. Dalam konteks itu, seorang pemimpin dituntut untuk memberikan perhatian yang proporsional dalam memanusiakan orang atau sekelompok orang yang ia cintai. Jika ia mengasihani orang miskin, pemimpin yang menjalankan kepemimpinannya karena kuasa akan memberikan ikan kepada mereka yang tidak mempunyai lauk. Sebaliknya, pemimpin yang menjalankan kepemimpinanannya karena cinta akan memberikan kail dan berusaha melaut bersama-sama.

Di samping itu juga, melalui proses mencintai, seseorang dihadapkan pada kenyataan lain bahwa ternyata hidup dirasa begitu timpang tanpa kehadiran orang yang dicintai. Demikian pula mencintai Tuhan merupakan salah satu alasan mengapa orang selalu merasa begitu berdosa di hadapanNya. Saya katakan begitu karena Tuhan adalah tempat terbaik manusia meletakkan cermin dirinya. Bayangkan saja pada suatu ketika Tuhan berdiri bagaikan sebuah cermin jernih di hadapanmu, kamu memandang ke dalam diriNya dan melihat bayanganmu. Kemudian kamu berkata, kucinta kamu. Tetapi sebenarnya, kamu mencintai dirimu dalam diriNya.

Sayangnya, seiring perkembangan zaman, manusia cenderung ingin menjadi seorang pribadi dewasa dan otonom. Tetapi di hadapan cinta, kita diajak menjadi seperti anak kecil, bukan sebagai orang dewasa yang otonom. Peribahasa sanskrit mengatakan, “Kalau sungai masuk ke laut, ia lupa akan nama dan kemasyurannya”. Demikian juga, kaum bijak dan pandai dari dunia ini akan membuang jabatan dan ijazahnya pada saat mereka mendekati dan bertemu dengan Tuhan. Tidak mengherankan bila filsuf dan matematikawan ateis, Blaise Pascal sebelum meninggal menulis bahwa manusia hanyalah sebatang galah yang berpikir, un roseau pensant untuk menjunjukkan sekaligus kedahsyatan manusia dan kerapuhannya.

 

****

Tidak ada hidup spiritual tanpa yang aktual. Tidak mungkin mengakui Allah tanpa bekerja bagiNya. Artinya jelas. Tidak mungkin Anda mengatakan bahwa dirimu sedang mencintai tetapi rasa cinta itu tidak pernah sekalipun ditunjukkan dalam bentuk yang konkret. Cinta butuh alasan untuk bisa bertahan. Selain pengorbanan, bukti itu adalah pelayanan. Sama seperti jika saudarmu menderita kelaparan sementara engkau mempunyai kemungkianan untuk menolongnya, engkau adalah seorang pencuri; dan jikalau dia mati kelaparan, engkau adalah seorang pembunuh.

 

Kebebasan dari Perspektif Seorang Jomblo

Oleh Hans Hayon*

 

Kalian pasti pernah mendengar pernyataan “Menjadi jomblo itu pilihan” dan menganggap bahwa hal itu biasa-biasa saja. Tetapi bagi saya, terdapat persoalan serius dalam kalimat tersebut yakni penggunaan kata “pilihan”. Jika disuruh memilih, tidak mungkin tidak ada option A, B, atau C yang disodorkan terlebih dahulu kepada si Pemilih, bukan? Nah, kejanggalan akan muncul bila terdapat deksripsi lanjutan seperti, “Engkau bebas memilih antara A, B, atau C”. Bagi saya, ini aneh! Apa itu kebebasan? Mengapa ada keyakinan nan mulia bahwa pilihan seseorang menjadi jomblo itu murni dari hati nuraninya yang terdalam? Saya tidak yakin.

Dalam salah satu adegan Film “The Lady” yang disutradarai oleh Luc Besson, seorang tokoh pemerintah Myanmar menginterogasi Aung San Suu Kyi dari liga pro-demokrasi. “Engkau bebas memilih antara menyelamatkan negaramu ataukah keselamatan keluargamu,” katanya. Beberapa menit berselang, Aung San Suu Kyi mengangkat mukanya. Dengan mata memerah karena sedih, ia mengucapkan sesuatu yang kedengarannya gagal menjadi kalimat tanya: “Apa itu kebebasan?” Pada akhirnya, film tersebut ending dengan meluapnya dukungan publik kepada Aung Sann Suu Kyi yang beberapa tahun berselang dianugerahi nobel perdamaian. Namun, seperti Indonesia, kita tahu persis bahwa demokrasi adalah sebuah sistem yang tidak pernah selesai. Selalu saja ada hal yang luput, terabaikan, tidak dihiraukan sama sekali. Salah satunya adalah kebebasan. Ia hanya akan ada ketika tidak hadir.

Tentang kebebasan, ada dua konsep dasar yakni bebas untuk dan bebas dari. Seseorang yang terlanjur menjadi jomblo terjerat dua kemungkinan seperti ini: Pertama, ia bebas untuk menjadi jomblo atas dasar kehendak bebas demi proses aktualisasi diri yang lebih baik. Kedua, ia menjadi jomblo setelah bebas dari tekanan sosio-psikologis tatanan masyarakat. Kesimpulannya jelas: Tidak pernah ada jomblo yang sungguh-sungguh bebas. Alasannya, agar bisa bebas mengaktualisasikan diri secara baik, kaum jomblo otomatis harus punya kapasitas lebih untuk bisa keluar dari stereotip masyarakat bahwa dirinya tidak atau belum laku. Lebih celakanya lagi kalau jomblo itu sejajar dengan mantan yang gagal move on. Banyangkan saja; kata “gagal” itu jauh lebih perih daripada keberhasilan yang tertunda. Dengan demikian, jika Anda pernah mendengar ada pengakuan dari seseorang penyandang predikat jomblo bahwa dirinya bebas, jangan mudah percaya. Anda hanya bisa percaya, kalau jomblo jenis itu berasal dari galaksi lain dengan penghuninya homogen baik lelaki atau perempuan saja.

Jomblo yang Terintimidasi

“Time is kind friend”, seorang penyair wanita yang sedih menulis, “it makes us old” (waktu adalah teman baik. Ia membuat kita tua). Ia membuat sederet nama jadi sejarah. Jomblo mana yang tidak panik bila mendengar atau membaca kalimat seperti itu? Tanpa bisa ditolong, sekalipun dengan napas buatan, nasib kaum jomblo sedang berada di atas tanduk. Terombang-ambing antara status sebagai mantan kekasih dan kegagalan PDKT malam Minggu kemarin. Itulah alasan mengapa hari yang paling dibenci adalah malam Minggu. Puncak kepanikan kaum jomblo justru diperparah oleh sistem pemikiran yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Entah dari mana datangnya, konsep berpasang-pasangan itu seolah-olah merupakan hal yang normatif. Kalau bukan karena faktor genetika, menjadi jomblo dengan alasan seluhur apa pun, dinilai sebagai sebuah ketimpangan serius. Tanpa bisa dielak, terdapat bias jender dalam konsep seperti itu. Perkawinan heteroseksual misalnya, telah menjadi tolak ukur untuk melarang Lesbian, Guy, Biseksual, dan Transjender (LGBT). Demikian pula dengan jomblo. Komunitas seperti itu hidup dalam tekanan dan intimidasi sosial tanpa pernah ada solusi yang berani ditempuh hingga saat ini.

Bagaimana Caranya Menjadi Jomblo yang Bebas

Menjadi bebas identik dengan konsep bebas untuk seperti yang sudah saya jelaskan di atas. Setiap orang yang, dengan kehendak bebas memilih menjadi jombo, perlu memiliki aspek-aspek sebagai berikut:

Pertama, berjiwa misioner. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan kata “misi” sebagai sebuah perutusan yang dikirim oleh negara ke negara lain untuk melakukan tugas khusus dalam bidang diplomatik, politik, perdagangan, kesenian, dan sebagainya; Tugas yang dirasakan orang sebagai suatu kewajiban untuk melakukannya demi agama, ideologi, patriotisme, dan sebagainya; Kegiatan menyebarkan Kabar Gembira dan mendirikan jemaat setempat, dilakukan atas dasar pengutusan sebagai kelanjutan misi Kristus. Dalam Gereja Katolik, penjelasan tentang seseorang yang berjiwa misioner melekat erat dalam sosok pastor, imam, dan biarawan/ti. Menariknya, semua mereka itu memilih menjadi jomblo secara militan. Nah, jomblo seperti inilah yang saya maksudkan dengan jomblo berjiwa misioner. Mereka lebih mementingkan idealisme ketimbang keterikatan diri pada dunia.

Kedua, berjiwa revolusioner. Jomblo jenis ini hendaknya memiliki ketahanan jiwa yang tidak biasa. Demi perkembangan dan kemajuan bangsa, seseorang lalu memutuskan menjadi jomblo agar memiliki konsentrasi yang lebih terfokus pada tujuan yang ingin dicapai. Latar belakang pendidikan yang berkualitas memungkinkan seseorang menjadi jomblo seperti ini. Jomblo demikian, tidak gampang egois bila berhadapan dengan carut marut situasi sosial dewasa ini. Sambil memanfaatkan kecerdasan intelektual, mereka berjuang mati-matian demi terselenggaranya sistem pemerintahan yang adil dan bersih.

Akhirnya, kebebasan seorang jomblo sebenarnya tidak tergantung pada atau dari konteks sosial masyarakat di mana ia ada dan hidup. Lebih dari itu, kebebasannya lahir dari aktivitas berpikir dan bertindak. Untuk itu dibutuhkan kepekaan dan sikap cepat tanggap. Karena alasan itulah maka menjadi jomblo yang bebas memang meminta tanggung jawab yang tidak biasa.

Relasi

Setelah membaca tulisan ini, kalian pasti akan membayangkan betapa menyedihkan hidup seperti saya. Lebih banyak menghabiskan waktu dengan berada di dalam kamar, membaca, merenung tentang apa saja, jarang pesiar, pokoknya rutinitas harian hanya berkisar dalam kesendirian. Sedikitpun saya tidak menilai betapa diskriminatifnya penilaian kalian, toh menurut saya bagaimana pun juga hidup seseorang tidak pernah bisa dilepaskan dari penilaian orang lain.
Jujur, saya selalu merasa terganggu bila bertemu dengan orang asing. Seseorang yang dalam pandangan saya sama sekali memiliki watak, karakter, dan budaya yang berbeda dari diri saya sendiri. Tetapi itu bukan berarti saya lalu menganggap mereka sebagai pengganggu atau musuh yang harus dilenyapkan. Bukan! Sebaliknya, saya hanya butuh waktu, kesempatan, dan rencana yang jitu untuk membangun relasi dengan orang dari kategori tersebut. Jauh dari lubuk hati saya, sejatinya terdapat kerinduan untuk membangun komunikasi dengan mereka. Hanya saja, kadang saya merasa khawatir, kurang percaya diri, dan belum siap. Saya merasa bahwa di hadapan mereka, saya tidak berarti apa-apa.

Relasi, dalam pemahaman saya, sepatutnya ada itu tergantung pada sejauh mana seseorang merasa siap untuk itu. Terlepas dari tuntutan kodrati manusia sebagai makhluk sosial, saya menilai betapa setiap relasi yang tercipta di atas muka bumi ini tidak pernah tidak terlepas dari campur tangan kepentingan. Di luar dari itu, semuanya cuma kepura-puraan. Bandingkanlah misalnya ketika Anda bersahabat dengan seseorang. Orang itu Anda anggap sebagai sahabat karena di dalam dirinya terkandung kualitas-kualitas tertentu yang penting. Sebut saja, sikap rendah hati, murah senyum, fleksibel, adaptatif, dan sebagainya. Bila kualitas termaksud memudar atau hilang, bukan tidak mungkin, relasi tersebut lalu disudahi segera. Saya kenal beberapa orang dengan model relasi seperti ini-bereferensi pada kepentingan.
Berkaitan dengan itu, terdapat sebuah pertanyaan yang cukup membingungkan saya: “Anda mencintai seseorang atau sesuatu dari seseorang?” Kalimat ini terkesan mengada-ada. Maksudnya, mana mungkin dalam pernyataan di atas, dibuat pemisahan yang tegas antara kepribadian seseorang yang tersirat dalam kata “sesuatu” dan kondisi eksistensial orang itu. Mencintai seseorang tanpa “sesuatu” hanya akan memiskinkan kepribadian manusia yang kaya. Sebaliknya, mencintai “sesuatu” terlepas dari eksistensi seseorang juga akan membuat cinta hanya bergerak di atas awan-awan alias ilutif dan tidak membumi. Jadi, berdasarkan penjelasan di atas, kedua komponen termaksud hendaknya saling melengkapi dan memenuhi. Persoalan yang muncul sesudah ini adalah bagaimana menyelaraskan dua perbedaan yang sama tetapi tak serupa itu? Jawabannya ada pada kepentingan.
Saya mencintaimu karena engkau berharga bagi hidup saya. Itu berarti ketika saya mencintaimu, saya mencintai diri saya sendiri. Demikianlah relasi resiprokal dalam mencintai tidak pernah bisa dilepaskan dari kepentingan (saya sengaja tidak menyebutnya sebagai kebutuhan). Karena keberadaanmu penting, maka saya memiliki kewajiban moral untuk mencintaimu! Kira-kira seperti itulah, relasi yang sedang menjalari kehidupan manusia saat ini.

Rabu, 25 Februari 2015.

Insomnia

Sulit untuk terlelap padahal hari hampir pagi. Lonceng berdentang pertanda waktu menunjukkan pkl. 05.30 WITA. Kicauan burung terdengar tepat di atas pohon apukat, di samping kamar. Dan ribut suara knalpot sepeda motor hilir mudik sepanjang jalanan adalah isyarat bahwa aktivitas manusia dimulai lagi pada hari ini. Sementara itu, saya masih terbaring di tempat tidur. Kelelahan, karena belum bisa memejamkan mata sepanjang malam tadi.
Semalam, sejak pkl. 00.00 WITA, saya dihubungi oleh seseorang via handphone. Orang yang paling saya kasihi itu membuat waktu berjalan terlalu cepat. Tanpa disadari, telah lebih dari 5 jam kami berbicara. Saling menceriterakan hal-hal yang sebenarnya tidak cukup penting, saya kemudian paham kalau ternyata objek yang sama bisa dinilai dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Pertanyaan tentang “apa kabarmu?” dan “sudah makan?” adalah bentuk-bentuk kalimat tanya berimplikasi retoris. Jawabannya, tanpa perlu kau tanya, sebenarnya hatimu sudah bisa memastikan modelnya seperti apa. Hingga pada pkl. 05.00, barulah telpon dimatikan setelah melewati proses yang cukup rumit. Sebenarnya saya heran: apakah perlu untuk meributkan soal tentang siapa yang harus terlebihdahulu mematikan telpon?
Bukan hal baru jika insomnia melanda setiap siapa saja yang sedang kasmaran, tak terkecuali diri saya sendiri. Hanya saja, insomnia dalam pemahaman saya bukan lagi persoalan sulit tidur. Lebih dari itu, insomnia merupakan sebuah kondisi menolak untuk tidur sebelum waktunya. Atas dasar alasan-alasan tertentu saya lalu tidak tidur, itu bukan berati saya sedang mengalami masalah “susah tidur” tetapi sebaliknya saya sedang melakukan sesuatu yang jauh lebih penting daripada sekedar tidur. Tentu saja saya harus bertanggungjawab dengan pilihan seperti itu karena, selain tidak familiar namun dapat juga menyesatkan pemahaman orang lain. Hehehehe

Selasa, 24 Februari 2015.

Ibadat Inkulturatif Penyembuhan Orang Sakit Menurut Masyarakat Nurabelen-Desa Nurri-Kecamatan Ile Bura-Kabupaten Flores Timur

I. Pendahuluan
Sebelum diuraikan seremoni penyembuhan orang sakit, terlebih dahulu dibahas tentang beberapa istilah penting sebagai berikut: Pertama, Molang atau dukun. Di Nurabelen, desa Nurri, Kecamatan Ile Bura, Kabupaten Flores Timur, istilah molang atau dukun dikenal dengan sebutan “mata lusi, iru aho”, artinya orang pintar yang punya kemampuan khusus (gaib) di mana matanya terang dan tajam bagai burung rajawali, dan penciumannya tajam seperti penciuman anjing pelacak. Terdapat begitu banyak molang berdasarkan kemampuannya masing-masing misalnya penafsir mimpi, pelindung kampung, penyembuh penyakit, dan sebagainya. Molang sebagai penyembuh penyakit umumnya menggunakan ramuan tradisional berupa akar tertentu dan jenis daun atau kulit kayu tertentu yang proses pengambilan dan pengolahannya diwariskan secara turun-temurun. Kedua, Penyebab Sakitnya Pasien. Pada umumnya seseorang jatuh sakit disebabkan oleh kuman penyakit atau karena keteledoran/kelalaian fisik lainnya dan langung diobati secara medis. Namun terdapat juga kenyataan lain bahwa pengobatan medis sama sekali belum menyembuhkan si pasien maka penyembuhan secara tradisional oleh molang atau dukun kampung menjadi pilihan berikutnya. Ada beberapa penyebab sakitnya pasien yang tak kunjung sembuh menurut versi masyarakat adalah karena dosa atau kesalahan dari pasien sendiri berupa pelanggaran adat, pencurian, perzinahan, dan sebagainya. Di samping itu penyebab lain adalah dosa atau kesalahan orang tua, keluarga, dan leluhur masa lalu dari pasien.
Dalam paper ini, saya mencoba untuk menghubungkan proses penyembuhan orang sakit dengan sebuah ibadat inkulturaltif. Maksud dari proses ini adalah terdapat kemungkinan bagi tersedianya pijakan liturgis dalam upacara penyembuhan. Dengan begitu, orang tidak lagi melihat adat dan tradisi sebagai sebuah entitas yang sama sekali terpisah bahkan bertentangan dengan tradisi Katolik. Sebaliknya, melalui ibadat inkulturatif, kebudayaan arkais dan ritus liturgis berjalan beriringan, saling melengkapi dan menjawabi kebutuhan umat.

II. Proses Ritus Penyembuhan
Proses penyembuhan orang sakit dibagi dalam tiga bagian besar, meliputi:

1) Lone Wua Malu
Secara leksikal, lone artinya alas kepala dan wua malu artinya sirih pinang. Jadi, lone wua malu artinya sirih pinang yang diletakkan di bawah bantal. Prosesnya sebagai berikut: Keluarga pasien membeli sirih pinang, membawanya ke rumah dukun/molang dengan syarat bahwa sepanjang perjalanan tidak boleh menegur atau menyapa orang. Selanjutnya, molang menerima sirih pinang disertai penjelasan maksud dan tujuan kedatangan keluarga pasien. Pada malam itu juga, dukun meletakkan sirih pinang di bawah bantal dengan caranya tersendiri dan ketika molang itu tidur nantinya otomatis ia akan bermimpi tentang penyebab penyakit yang diderita oleh pasien tersebut. Pada keesokan harinya, molang memberitahukan isi penglihatannya mengenai penyebab penyakit pasien dan selanjutnya meminta keluarga untuk menyiapkan perlengkapan untuk dilangsungkan upacara penyembuhan.

2) Perlengkapan yang Harus Disiapkan

Tahap selanjutnya adalah menentukan hari terjadinya proses penyembuhan. Untuk itu, pasien oleh anjuran dari molang, harus membawa kelengkapan berupa: Pertama, kambing jantan sedang, yang sehat, belum dikebiri, sebanyak 1 ekor. Kedua, Gebia atau gewaja (tempat sirih pinang) sebanyak 2 buah, yang satu khusus untuk pasien dan keluarganya, dan yang lain bagi peserta yang hadir. Ketiga, Sirih pinang, tembakau kasar dan koli (daun lontar yan telah dihaluskan sebagai pembungkus rokok dari tembakau kasar) dan buah kemiri. Keempat, Arak 1 botol. Kelima, Beras tumbuk untuk seremoni adat, bagi semua peserta yang hadir,d an juga sedikit untuk molang. Keenam, Kelapa muda yang belum berisi (kabo) dan daun lite (daun Pendingin). Ketujuh, Braha (segumpal kapas yang diikat dengan benang berwarna merah-disiapkan oleh molang). Kedelapan, kelapa tua 1 buah untuk molang. Kesembilan, Ayam jantan 1 ekor untuk molang. Kesepuluh, Daun lontar tua dibentuk seperti piring yang disebut dengan kebi.

3) Pelaksanaan Upacara Seremonial Penyembuhan Orang Sakit

Biasanya upacara ini dilaksanakan di rumah adat tuan tanah (lango belen) suku Puka, karena di tempat itulah terdapat kekuatan Lewotanah berupa Guna Dewa atau Guna Pulo, Dewa Lema, yang dipercaya punya kekuatan atau Ike Kwaä dalam bentuk beberapa batu penninggalan leluhur. Adapun prosesnya sebagai berikut:

a) Reka Wua Malu: Makan Sirih Pinang. Sebelum makan sirih pinang, pasien dan keluarga, dukun dan tuan tanah suku Puka, dan peserta yang hadir bermusyawarah. Dalam pembicaraan itu, molang/dukun meminta pengakuan dari pasien dan keluarga terkait dosa atau kesalahan apa saja yang pernah mereka perbuat. Sesudah dilakukan musyawarah, barulah dilaksanakan upacara makan sirih pinang atau hanya menyentuh gebia (tito dae gebia) bagi yang belum terbiasa. Tindakan ini melambangkan persatuan sebelum melakukan sesuatu (teka gebia wua malu, taan onek tou: makan sirih pinang lambang persatuan).

b) Upacara Pemotongan Hewan Kurban. Sebelum hewan dipotong, api di tungku perapian harus sudah dinyalakan agar guna dewa mengetahui bahwa sebentar lagi mereka akan menyantap bagian tubuh paling inti dari hewan korban. Dan hal ini juga memengaruhi gerak gerik hewan korban yang akan dengan tenang menyerahkan lehernya untuk dipotong. Selain itu, kelapa muda bersama daun lite diletakan di tanah dengan mata kelapa muda menghadap ke arah gunung, tepat di bawah kepala kambing. Catatan: Tidak sembarang orang yang bertugas sebagai pemotong hewan melainkan sesuai dengan sukunya masing-masing, setiap petugas menjalankan perannya berbeda. Penjelasan tentang ini, saya tangguhkan dulu. Sesudah kambing disembelih dengan cara dipenggal kepalanya, maka bagian tubuhnya yang paling inti diambil, meliputi hati, jantung, bama (rahang bawah), dan keempat kuku kaki kambing. Semuanya itu dipanggang terpisah dari yang anggota tubuh lainnya. Upacara setelah daging kambing matang yaitu: Pertama, Piring dari daun lontar (kebi) dibagikan ±5 kebi untuk tuan tanah, dukun, dan petugas lainnya yang berperan dalam seremoni. Kedua, Molang dan/atau tuan tanah membagi nasi khusus, daging inti yang dipanggang ke dalam kebi-kebi yang sudah disiapkan. Ketiga, Tuan tanah mengambil sedikit daging, sedikit nasi, dan arak 1 gelas dan memperembahkannya di hadapan Guna Dewa sebagai lambang “memberi makan” disertai syair mantra:

Go me bohu, menu me seba
Ne ata blara bera sare
Ake ai susah muri

c) Pembelahan Kelapa Muda. Selanjutnya, molang membelah kelapa muda dan airnya direciki dengan menggunakan daun lite ke atas kebi-kebi tersebut sambil berkata:

Loi glete owe owa, sire mite lite kabo bali bura

Sesudah itu, setiap orang yang menjaga kebi itu boleh makan bagian yang telah disediakan. Bersamaan dengan itu, semua peserta yang lain boleh makan daging umum (dimasak tanpa campuran bumbu) dengan nasi untuk umum sedangkan pasien dan keluarganya tidak boleh menyantap daging kambing persembahan tadi melainkan ikan atau lauk lain yang dibawa sendiri. Setelah semuanya selesai, molang memanggil pasien dan keluarganya. Di hadapan mereka, molang mengunyah sirih pinang dan daging buah kemiri (jadinya ilu mean: warna merah) yang selanjutnya dimuntahkan dalam sebuah tempurung. Dioleskannya ilu mean itu dalam bentuk “Tanda Salib” di dahi pasien dan keluarganya. Selanjutnya, pasien dan keluarganya boleh langsung pulang tanpa pamit (tidak boleh menoleh ke belakang) menuju ke rumah mereka.

III. Cara Tradisional Menentukan Jenis Penyakit Pada Pasien
Adapun seremoni yang dilakukan adalah Bia Manu. Bia artinya merobek, dan manu artinya ayam. Jadi, bia manu merupakan proses merobek ayam (jantan). Hal ini dilakukan dengan cara molang meletakkan ayam jantan di atas kepala pasien sambil mengatakan:
Manu Lera Wulan, jago tana ekan
Goko nua go koda pulo kirin lema
Kedi Mo noni nua kame
Na pu plate bringi puke a

Kemudian ayam tersebut dirobek lalu diperiksa atau lihat bagian dalamnya mulai dari jantung, hati, rusuk, usus, dan lain-lain. Jika ada bagian tubuh ayam tersebut rusak atau luka, maka diyakini bagian tubuh pasien pun demikian. Jika demikian maka molang pergi mencari dan menemukan ramuan tradisional yang cocok untuk mengobati pasien berdasarkan petunjuk dari ayam jantan tadi, hingga pasien tadi sembuh.

IV. Ibadat Inkulturatif Penyembuhan Orang Sakit

Tema: Yesus Adalah Tabib Agung
(Markus 5:1-20)

Tujuan: Agar peserta, sesudah mengikuti ritus adat penyembuhan orang sakit, dihantar pada pemahaman bahwa Tuhan menganugerahkan kesembuhan melalui para molang/dukun, dan tuan tanah.

A. Lagu pembuka
B. Tanda Salib
P : Demi Nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus

U : Amin

P : Semoga rahmat Tuhan kita Yesus Kristus, cinta kasih Allah dan persekutuan Roh
Kudus beserta kita.

U : Sekarang dan selama-lamanya.

C. Kata Pengantar

Bapak/Ibu, Saudara/i, opu pain, ina/ama, kaka ari wokokae yang goe hunge di ba’a, goe tonga di blola. Pi lero, tite pupu taan onek tou, untuk mendoakan Saudara, kaka/ari tite yang mete bringi ne blara. Oleh karena itu, marilah di awal ibadat ini, kita menyesali segala dosa dan kesalahan yang pernah kita buat di masa lampau terutama kepada Tuhan dan para leluhur agar hati kita pantas merayakan ibadat ini dengan jalan yang lapang membentang tiada beban tertangguh.

D. Pernyataan Tobat
P: Tuhan Yesus Kristus, kami seringkali malas bersyukur dalam setiap tugas-tugas hidup kami. Tuhan, kasihanilah kami
U: Tuhan, kasihanilah kami….
P: Tuhan Yesus Kristus, Engkau sungguh taat kepada Bapa, namun kami tidak banyak menaati kehendak Bapa yang begitu baik kepada kami. Kristus, kasihanilah kami
U: Kristus, kasihanilah kami….
P: Tuhan Yesus Kristus, pimpinlah kami agar mampu mengikuti jejakmu, bersyukur, dan berani berkorban demi kepentingan bersama, sehingga pantas menjadi murid-muridmu. Tuhan, kasihanilah kami
U: Tuhan, kasihanilah kami…
P: Semoga Allah yang Mahakuasa dan Maharahim mengasihi kita, mengampuni dosa-dosa kita, dan mengahantar kita ke hidup yang kekal.
U: Amin.

E. Doa Pembuka

O Lera Wulan Tanah Ekan, Allah Bapa Yang Maha Kuasa. Pada hari ini kami semua sebagai suatu keluarga besar kembali berkumpul di hadapanmu. Sebagaimana PuteraMu Tuhan kami Yesus Kristus yang setia menghayati tradisi adat-istiadat Yahudi, demikianpun kami telah melaksanakan ritus penyembuhan atas penyakit yang diderita oleh Saudara kami ini. Semoga dengan perkenananMu, kiranya Engkau mengutus Roh KudusMu untuk menyempurnakan ritus kami sebelumnya dan anugerahkanlah kesembuhan atas dirinya. Karena Kristus itu juga Tuhan kami yang meraja bersama Dikau dalam persatuan dengan Roh Kudus, Allah sepanjang segala abad. Amin.

F. Pembacaan Kitab Suci
Injil Markus 5: 1-20 (Yesus Mengusir Roh Jahat dari Orang Gerasa)
G. Homili Singkat
Pada bagian ini, pemimpin ibadat membawakan sebuah renungan/homili singkat berkaitan dengan ritus penyembuhan tadi. Intinya bahwa dalam ibadat ini, ritus tersebut disucikan melalui sabda Kristus.
H. Aku Percaya
I. Doa Umat
P: Saudara-saudari, Allah Bapa kita yang maha kasih telah membebaskan manusia dari dosa-dosanya berkat kerahiman-Nya. Atas kesatuan yang kita alami pada hari ini, marilah kita bersyukur dan memanjatkan doa-doa kepada-Nya.

P: Bagi Saudara kita yang sakit.
Semoga Tuhan membimbing setiap langkah hidupnya agar ia dibebaskan dari penyakitnya dan jika telah terjadi kesalahan dalam hidupnya kiranya ia kembali meniti jalan yang dikehendaki oleh Yuhan. Marilah kita mohon ….

U: Kabulkanlah doa kami ya Tuhan

P: Bagi karya kita.
Semoga segala karya kita berkenan kepada Tuhan dan diberkati sehingga orang yang melihat dan merasakannya menjadi tertarik untuk mengikuti Yesus Kristus, Tuhan kita. Marilah kita mohon …..

U: Kabulkanlah doa kami ya Tuhan

P: Bagi kita agar terhindar dari segala jenis penyakit dan gangguan roh jahat.
Semoga kita senantiasa meningat Tuhan sebagai awal dan tujuan hidup. Dengan demikian, kita dimampukan untuk mengalahkan segala hawa nafsu dan keinginan untuk menikmati kesenangan duniawi semata. Kiranya Tuhan tidak melemparkan kita ke dalam jurang maut oleh karena tindakan kita yang keliru tetapi sebaliknya memberikan kita kesempatan untuk kembali berbenah diri. Marilah kita mohon …..

U: Kabulkanlah doa kami ya Tuhan

P: Bagi kita semua.
Semoga kita yang berhimpun disini senantiasa berusaha untuk saling meneguhkan dan menguatkan dalam iman dan berjuang melaksanakan panggilan Tuhan menjadi garam dan terang bagi sesama kita. Dan dengan bantuan Roh Kudus, kita dimampukan untuk melawan segala bentuk godaan dan rayuan si jahat. Marilah kita mohon …..

U: Kabulkanlah doa kami ya Tuhan

P: Marilah kita hening sejenak kita sampaikan ujub pribadi kita masing-masing kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa. ( hening sejenak ) Marilah kita mohon ……

U: Kabulkanlah doa kami ya Tuhan

P: Ya Bapa Yang Mahabaik,
demikian curahan hati kami, keluarga umatMu yang cenderung jatuh pada bujukan dan rayuan dosa namun tetap setia ingin berubah dari hari ke hari. Semoga Engkau mendengarkan dan mengabulkan doa-doa kami dan melimpahi kami dengan berkat dan rahmat-Mu. demi Kristus, Tuhan dan Pengantara kami.

U: Amin

P: Marilah kita satukan doa dan dan ungkapan syukur kita dengan doa yang telah
diajarkan oleh Tuhan Yesus sendiri: Bapa Kami…..
J. Doa Penutup

O Lera Wulan Tanah Ekan, kame ata ribu ratu lema pia tobo mori gewayan tanah ekan kame. Semoga Moe sera soron kame rohul Moe, Na liko lapak kame supaya kame ake todok wato tonu. Dengan Perantaraan Kristus Tuhan kami yang meraja bersama Dikau dalam persatuan dengan Roh Kudus, Allah sepanjang segala abad. Amin.

K. Lagu Penutup

V. Penutup
Sekilas gambaran seremoni penyembuhan orang sakit di Nurabelen, desa Nurri, kecamatan Ile Bura, kabupaten Flores Timur memberikan gambaran kepada kita bahwa orang jatuh sakit bukan selamanya disebabkan oleh kuman penyakit saja tetapi juga oleh kesalahan dan dosa manusia. Benar apa yang dikatakan Kitab Suci, “Upah dosa adalah maut”. Biar bagaimanapun setiap pasien harus mengupayakan penyembuhan secara medis terlebih dahulu tetapi kalau belum sembuh, barulah diupayakan penyembuhan menggunakan ritus seperti ini.
Demikianlah ritus ini dibuat tidak bermaksud untuk meyakinkan orang bahwa model seperti ini lebih unggul daripada cara penyembuhan secara medis. Tetapi sebaliknya, memberikan peluang kepada masyarakat untuk mensiasati kapan harus menggunakan penyembuhan alternatif seperti ini, dan kapan hendaknya menggunakan penyembuhan medis. Keduanya harus berjalan seimbang demi menjaga keutuhan dan keselarasan hidup manusia.