KUNCI*

(Sebuah Lakon)

 Oleh

Hans Hayon

 

Tujuan Umum:

Adapun tujuan dari naskah drama ini adalah meyakinkan penonton akan adanya bahaya vatikansentrisme dalam tubuh gereja.

Tujuan Khusus:

Mengajak penonton untuk tidak terlalu memprioritaskan ritualisme dan mengabaikan pokok persoalan dalam gereja seperti isu-isu kelompok LGBT, Human Trafficking, peran perempuan, ekonomi keselamatan, dan sebagainya.

Ide Dasar:

Saya memilih kata “Kunci” sebagai judul drama ini dengan alasan bahwa selama ini gereja sibuk dengan urusan mengenai jabatan-jabatan penting, misalnya uskup, pastor paroki dan pemimpin kelompok kategorial tertentu dan mengabaikan berbagai macam hal penting. Singkatnya, kunci melambangkan wewenang, tugas, dan formalitas. Berkaitan dengan hal ini, terdapat dua jenis pernyataan yang mengandung perbedaan unsur yakni “Gembalakanlah domba-dombaku” dan “Engkau adalah gembala”. Pernyataan pertama menegaskan fungsi imperatif dan menuntut aksi praktis dalam hidup sedangkan pernyataan kedua lebih merupakan implikasi lanjut atas status quo (otoritas).

 

Adegan I

 Setting:

Panggung menampilkan sebuah ruangan yang terlihat agak kumuh. Dua orang pengemis (seorang pria buta dan yang lain perempuan lumpuh) sedang duduk bersimpuh di tanah sambil menengadahkan tangan yang terbuka. Seperti mereka sedang mengharapkan sesuatu berbentuk rezeki singgah walau sebentar. Di luar panggung, terdengar suara: “Berikanlah kami rejeki pada hari ini dan ampunilah kemiskinan kami”[2] (diulang secara ritmis sebanyak empat kali dan teknik pencahayaan perlu dimanfaatkan secara tepat untuk membangkitkan kesan absurditas). Dari sudut kiri panggung, muncul seorang pejabat. Ketika berjalan mendekati para pengemis, ia hanya mengamati sebentar dan berjalan lalu. Demikian pun halnya seorang imam yang juga kebetulan lewat di tempat itu. Hingga pada akhirnya, seorang perempuan[3] melewati tempat itu. Dan tanpa dikomando, dua orang pengemis itu serentak berdiri.

 

Perempuan:

Mengapa kalian menghabiskan hari-hari hidupmu dengan mengharapkan sesuatu yang belum tentu datang menjelang?

Pengemis Buta:

Manusia bukan hidup dari roti saja, kan? (terdiam dan melanjutkan) Tetapi ia hidup juga dari harapan-harapan akan sesuatu yang mustahil dilihat dengan mata.

Pengemis Lumpuh:

Benar sahabatku! (memeluk pengemis buta) Hati selalu memiliki kelelahan yang lebih dahsyat karena setia berjalan, menjangkau tempat yang belum tentu dapat ditempuh oleh kedua kakiku.

Perempuan:

(mengambil selembar uang dan hendak memberikan kepada kedua orang pengemis) Ambillah. Ini sedikit uang untuk memenuhi kebutuhan kalian sehari-hari. Dan ingat, jangan mengemis lagi.

Pengemis Buta:

(tertawa) Betapa rendahnya penilaianmu terhadap orang seperti kami. Apakah uang sanggup memenuhi harapan manusia?

Perempuan:

Jangan terlalu idealistik. Tanpa uang, kalian tidak mungkin sanggup bertahan hidup secara lebih manusiawi.

Pengemis Lumpuh:

Ah..! (tersenyum sinis) Manusiawi, katamu? (nada menggertak) Batasan apa yang engkau pakai untuk mengatakan sesorang itu manusia dan yang lain bukan? Picik sekali pendapatmu itu.

Perempuan:

Maaf (merasa bersalah) Bukan maksudku mengatakannya demikian. Aku hanya melaksanakan apa yang sudah seharusnya. Di luar daripada itu, aku hanyalah mesin yang dikendalikan oleh sebuah kekuatan asing. Kekuatan yang biasa disebut oleh kaum cendekiawan sebagai agama. (tersungkur ke tanah dan menangis).

(Kedua pengemis itu bergegas keluar panggung-orang lumpuh berjalan pincang dan orang buta dengan tangan meraba-raba tanah-sambil memandang perempuan dengan mimik keheranan. Beberapa menit berselang, seseorang memasuki panggung sambil memikul sebuah salib. Dan di luar panggung diperdengarkan tangisan pilu beberapa orang wanita).

Adegan II

Setting:                   

Masih dengan latar yang sama hanya saja pada adegan ini slide menampilakan sebuah gambar kunci. Empat orang berjubah putih memasuki panggung dan ketika melihat gambar tersebut, mereka langsung bersujud menyembah. Seseorang lalu mengambil dan mengedarkan benda seperti sebuah kotak kolekte sementara masing-masing orang-kecuali orang I-merogoh saku jubahnya dan sambil mengangkat berlembar-lembar uang (uang itu ditampilkan ke arah penonton) yang selanjutnya dimasukkan ke dalam kotak tersebut. Setelah selesai, seseorang mengambil kotak itu dan mengangkatnya ke arah gambar kunci sebagaimana seorang Imam mengangkat hosti dan anggur pada saat perayaan Ekaristi. Semuanya lalu menyembah.

Orang I:

Terimalah persembahan dari muramnya hati kami, wahai gunung-gunung yang runcing dan lautan yang lapang.

Orang II:

Apa saja yang hendak engkau berikan kepada saya di alam baka nanti, berikanlah kepada teman-teman saya (ketiga orang lain menoleh dengan perasaan heran bercampur benci). Apa saja yang hendak engkau berikan kepada saya di sunia ini, berikanlah kepada musuh-musuh saya. Sedangkan kepada saya, berikanlah dirimu![4]

Orang III:

Jangan beri kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkan aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya kalau aku kenyang, aku tidak menyangkalmu dan berkata, “Siapa Tuhan itu?” Atau, kalau miskin, aku mencuri dan mencemarkan nama Allahku.[5]

Orang IV:                   Tuhan Ibrahim, Tuhan Isak, Tuhan Yakub; bukan Tuhan para filosof dan ilmuwan. (hening sejenak) Kepastian, kepastian. Rasa sukacita, damai, Tuhan Yesus Kristus.[6]

Orang I:

(menatap ketiga temannya sambil menggelengkan kepala) Dalam lubuk hati terdalam, sebenarnya siapa yang sedang kalian sembah?

Orang II:

Pertanyaanmu semakin aneh. Bukankah saat ini kita sedang menyembah Tuhan agama Katolik? (marah) Jangan-jangan dirimu tidak lagi percaya pada Dia sebagaimana kaum ateis sialan itu.

Orang I:

Sejak kapan Tuhan yang kau sembah itu memeluk agama Katolik? Memang, saya menyembah dan percaya pada Tuhan tetapi bukan Tuhan agama Katolik.[7]

Orang III:

Belum pernah saya mendengar bahwa ada seseorang yang mengatasi rasa haus dengan menelan sebongah tanah liat. Demikianpun tidak mungkin mengakui Tuhan itu bukan beragama Katolik sedangkan keseharian hidupmu menengaskan betapa cintanya dirimu sendiri pada apa yang engkau acuhkan.

Orang IV:

Kalian memperdebatkan sesuatu yang sebenarnya tidak wajib ada. Tahukah kalian, Tuhan itu diciptakan sejauh ia diperlukan?

(Terjadi keributan, bunyi gendang dan gong bertalu-talu)

Akh…Diam. (berteriak dan seketika itu juga keributan mereda). Tidak pedulikah kalian pada diriku? Di dalam kepalaku, terdapat sebuah jalanan yang macet. Berjubel keinginan senantiasa meminta untuk didahulukan. Lha, di mana itu kehendak Tuhan?

(Seseorang masuk menyanyikan sebuah lagu “Seperti yang Kauingini” karangan Nikita[8]. Ketika lagu ini dinyanyikan,  orang II, III, dan IV rebah ke tanah sambil meremas-remas rambut. Mereka kelihatan mengalami sakit kepala yang luar biasa lalu tewas, sedangkan orang I berjalan mengitari panggung dan setelah lagu selesai dinyanyikan, ia membacakan sebuah puisi[9]. Ketika sedang membaca, seorang perempuan masuk)

Perempuan:

(Masuk dengan gaya anggun dan mengamati orang I yang membaca puisi. Di lehernya, tergantung sebuah kalung dengan manik-manik hitam dan diujungnya terdapat sebuah kunci. Di luar panggung, instrumen membunyikan gemercing bunyi kunci yang digoyang. Beberapa menit kemudian, ia menanggalkan kalung tersebut dan melemparkannya ke arah penonton dengan wajah murung dan perasaan sedih yang paling)

                                    Kita takut kepada momok karena kata

                                    Kita cinta kepada bumi karena kata

                                    Kita percaya kepada Tuhan karena kata

Nasib terperangkap pun dalam kata

Dalam bahasa kita terbelah, tetapi dalam kata kita membaca.

(Chairil Anwar)[10]

 

 

Orang I:

(Maju dan mengapit lengan perempuan dan membawakan sebuah monolog)

 

Rombaklah bait Suci itu dan akan kami dirikan dalam tiga hari! Memang dasar!

Masa aku bisa disebut-sebut sebagai Tuhan….(tertawa) Lucu, bukan?

Tetapi sepertinya ada benar juga, kawan. Jika Tuhan tidak bisa dibeli, mengapa begitu juga dengan aku ketika orang mengatakan bahwa waktu tak bisa dibeli?

Berarti aku ini Tuhan juga?

Aku jadi bingung memikirkan hal ini.

Kenapa kalian juga ikut-ikutan bingung? Ingin menjadi Tuhan seperti aku juga kan?

Baiklah. Mari kita bingung bersama- sama. Bukankah untuk menjadi bingung, seorang tuan harus terlebih dahulu membingungkan bawahannya?

(tertawa sinis) hahahaha…..

Jika nanti kalian bertemu seorang penyair Spanyol dan ia bertanya, “Mengapa kalian begitu terpesona dengan orang gila sepertiku ini?” Jawablah, “Karena kami punya banyak kesamaan.”

Hanya itu saja jawabannya kecuali jika kalian ingin dijebloskan nanti ke dalam penjara bawah tanah negara itu.

Masih ingatkah kalian dengan adegan itu? (berpikir) Maksudku adegan tentang penjara bawah tanah Spanyol tersebut.

Baiklah jika kalian agak lupa. Memang, untuk menjadi Tuhan bersikaplah sesekali sebagai seorang pelupa. Toh, saya pun pernah demikian, melupakan isteri dan anak di rumah hingga saat ini.

Menarik bukan, menjadi seorang pelupa?

Nah, begini ceritanya. Syahdan, adegan dimulai dengan Miguel de Cervantes, penyair, pemungut pajak, dan prajurit ditangkap bersama bujangnya. Rupanya, jawatan inkuisisi, lembaga Gereja Katolik Spanyol merupakan penjaga keutuhan umat dan iman masa itu. Miguel, sang penyair tersebut lalu dijebloskan ke dalam penjara karena tidak tertawa setelah selesai mendengarkan kepala pejara bercerita.

Jangan menatap saya dengan pandangan seperti itu. Begitu tegas dan kejam. Tahukah kalian, bahwa tak ada yang sanggup membunuh waktu, selain sebuah tatapan yang demikian?

 

(keluar bersama perempuan sambil mengeluhkan hal-hal yang tidak jelas)

SELESAI

 

 

Naskah ini meraih juara I dalam perlombaan yang diselenggarakan oleh Sie Akademi Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, 2014.

* Judul di atas diambil dari Sajak Satire (dalam format epigram) yang menulis: “Alexander menjual Kunci, Altar, dan Kristus. After the conclave, a ubiquitous epigram within Rome was: “Alexander sells the Keys, the Altar, Christ Himself—he has a right to for he bought them.”  Catatan: Pada abad XVI, ketika Paus Alexander VI naik Takhta Suci, tubuh gereja dilumuri oleh zina, kekuasaan, uang, nepotisme, dan moralitas campur-baur. Terlebih ketika pamannya, Paus Calixtus III menduduki Takhta Suci, kehidupan seksual petinggi Gereja berlangsung tanpa diributkan. Itu juga zaman ketika kedudukan Kepausan bisa dimanfaatkan untuk mengumpulkan dana dan memberi tempat bagi sanak keluarga untuk memegang jabatan tertentu. Bdk. http://en.wikipedia.org/wiki/Papal_conclave,_1492. Diakses pada 03 Oktober 2014, pkl. 22. 00 WITA. Bdk juga Eric Russell Chamberlin. The Bad Popes  (USA: Barnes & Noble Publishing Ltd., 2003), p. 170.

[2]Bdk. Puisi “Harga Duit Turun Lagi” dalam Joko Pinurbo, Baju Bulan (2003).

[3]Saya lebih suka menggunakan kata “perempuan” daripada kata “wanita” karena beberapa alasan antropolgis agar menghindarkan pembaca dari bias gender yang keliru. Alasan lain adalah Paus Fransiskus sendiri mengatakan bahwa Gereja itu feminim-bukan berdasarkan atas peran semata.

[4]Pernyataan di atas merupakan penggalan rumusan doa yang terkenal karangan Madame de Griyon dari Prancis.

[5]Bdk. Amsal 30:8-9

[6]Doa dari filsuf Blasaise Pascal yang ditulis dalam salah satu catatan hariannya. Pascal yang tidak percaya pada agama itu pada usia yang ke-40 menulis, Scio Cui Credidi yang berarti Aku Tahu Siapa yang Aku Imani.

[7]Dikutip dari hasil wawancara antara Paus Fransiskus dengan seorang ateis Eugenio Scalfari, editor koran Italia La Repubblica, (Kamis 3/10/2013).

[8]Hendaknya lagu ini diaransemen selaras dengan situasi di mana terjadi pergolakan dalam diri manusia untuk menemukan kehendak Allah di antara jutaan keinginan kodrati.

[9]Aku ingin mengenalmu, Yang tak dikenal/Kau yang merebut kedalaman jiwaku/Kau yang menghempas hidupku seperti badai/Kau yang tak bisa ditangkap, kau yang selebur denganku/Aku ingin mengenalmu, bahkan melayanimu (Sebuah puisi karya F. Nietzsche ketika berusia 20 tahun yang bercerita panjang lebar tentang “Kematian Tuhan” dan beberapa cerita lainnya perihal Diognes yang berjalan di tengah pasar pada suatu siang yang terik dengan menenteng sebuah lantera sambil berteriak “Saya mencari Manusia”) Kematian Allah sebenarnya merupakan bentuk kritikannya atas moralitas kristen, modernisme, dan kebenaran universal.

[10]Puisi Chairil Anwar yang mencoba mengeritik sistem pemerintahan Demokrasi yang didistorsikan waktu itu di mana terjadi kebingungan untuk merumuskan konsep kebenaran dan kaidah kekuasaan dalam rezim Soeharto. Veritas non auctoritas facit legem. “Kebenaran, bukan otoritas, itulah yang membuat kaidah. Bahkan ada yang percaya, atau mungkin mengikuti Habermas, aksi komunikatif akan mencapai konsensus. Ada yang yakin, terdapat hubungan yang lempang antara rasionalitas, rembukan-sebagai proses pertimbangan-dengan “kebenaran”.