Kontrak Imamat

Sebelum memutuskan untuk mengirim cerpen ini ke media massa, saya merasa bingung: kepada media mana cerpen ini saya tujukan? Awalnya, saya mengurungkan niat untuk mempublikasikan kisah ini karena beberapa alasan, salah satu misalnya, ceritera ini akan menjadi kontroversial-walaupun saya sendiri kurang yakin dengan itu. Hehehe. Namun pada akhirnya, oleh karena lahirnya kesadaran bahwa konsistensi iman adalah persoalan paling sensitif di abad ini, maka saya hendak mengirimkan naskah ini ke koran Pos Kupang namun akhirnya tidak dimuat dan saya mempublikasikannya di sini. hehehe. Alasan lain adalah karena sebagian besar orang yang mengkonsumsi koran tersebut justru beragama Katolik (mayoritas di NTT, sebelum Kristen dan Islam). Jujur, saya cukup takut dan kewalahan bagaimana memulai cerita pendek ini yang, kalau di mata pembaca mungkin saja tidak memiliki kriteria tertentu sebagai cerpen, tetapi karena besarnya minat saya pada mempertanggungjawabkan iman secara intelektual maka saya memberanikan diri menulis.

Satu
Begini ceritanya. Sore itu, meskipun langit tampak mendung dan awan berarak dari arah utara menuju timur seperti rombongan pelayan altar, ia duduk nelangsa. Ribuan jilid buku dan koran terhampar begitu saja di hadapannya seakan turut merasakan badai yang mengamuk di balik dadanya. Badai yang bukan diciptakan oleh hasil perubahan gejala alam. Tetapi fenomena abstrak yang lahir dari sebuah relasi itu terlalu tangguh untuk dirobohkan. Tentu, dengan seseorang yang beberapa minggu yang lalu secara tak sengaja ia temui. Ketika hujan tumpah dengan begitu kurang ajar, menghalangi perjalanan pulang menuju pastoran. Ketika gadis itu dengan senyum mengembang menyerupai payung yang tampak ragu-ragu menangkal basah. Ketika keduanya berteduh tanpa kata-kata. Atau betapa sebelum itu, padangan mereka bertemu secara tak sengaja mirip pemahaman irasional tentang mengapa tungkai cemara senantiasa berderai meski tanpa angin yang berhembus. Selanjutnya siapa sangka, jika pertemuan tak terencana itu pada akhirnya berujung debaran jantung. Seolah-olah hati adalah sebuah taman yang wajib kau kunjungi?
Hari ini mereka kembali bertemu. Bukan di taman yang sepi, pun villa pada puncak bukit seperti sebelum-sebelumnya. Upacara kematian salah seorang tokoh terkenal di kabupaten ini entah bagaimana merupakan momen paling tepat bagi pertemuan tersebut.
Lagu requiem seakan tidak begitu runcing memendarkan kesedihan. Apalagi baru-baru ini, televisi dan internet menjadikan kesedihan tragedi AirAsia sebagai komoditi dengan nilai jual terlaris. Otomatis, bagi mereka, kesedihan adalah sebuah kata keliru untuk menyebut bahwa sesungguhnya semua hal cuma bertahan sementara.
“Sejak kapan mencintai itu dikatakan salah?” tanya gadis itu gusar setelah lima kali mereka bertemu secara diam-diam namun belum mencapai kata sepakat tentang hubungan itu. Lebih tepatnya, mereka berjumpa dengan sembunyi-sembunyi. Mengingat terdapat ribuan mata senantiasa mengawasi perangai yang mereka perbuat. Bayangkan bagaimana tidak jengkel jika seharian inboxmu dipadati caci maki dari orang yang tak kau kenal? Perempuan penggoda, pelacur, makhluk haram, lalu beraneka atribut baru disematkan pada kepribadianmu.
Seperti memahami kekalutan gadis itu, ia lalu berujar, “Sejak engkau memiliki pertanyaan demikian.” (Lha, sampai di sini, saya bingung dengan pernyataan seperti itu!)
“Lalu, seperti apa hubungan kita?” Gadis itu kembali bertanya sambil membayangkan betapa cinta selalu tidak pernah tepat waktu.
“Aku mencintaimu dan engkau mencintaiku. Jadi kita saling mencintai. Tidak ada hubungan lain di luar dari itu, kan?” potong lelaki itu dengan mata membadai.
“Beberapa hari terakhir, aku merasa ragu. Kau mencintaiku di saat engkau sedang berusaha mencintai Orang Lain yang belum juga kau jumpai.” Gadis itu berseloroh dingin penuh sinis.
“Apakah itu berarti, kita hanya sekedar berjanji?”
“Kupikir begitu!” Ia melanjutkan, “Toh, setiap janji hanya akan ada sejauh kontrak yang dibangun antara dua pribadi masih dirasa relevan.”
“Saya berjanji akan menikahimu secepatnya.”
“Secepat itu?”
“Sesederhana mencintaimu dan melupakan yang lain.”
Sekalipun upacara penguburan berjalan lamat-lamat dirundung duka, keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Sambutan dari seorang Imam tua tidak lagi digubris. Apalagi Bupati yang, kebetulan saat itu menolak untuk berbicara dengan alasan yang tidak jelas, mereka pandangi dengan tatapan menjijikan. Bagai ajang debat level nasional, upacara itu jelas-jelas diwarnai dengan kericuhan religius. Di satu pihak, seseorang menjagokan almahrum sebagai salah anggota kesayangannya dan di lain pihak, ia malah dicemooh. Sementara itu, keduanya masih saja bungkam. Seolah-olah mereka paham bahwa tidak ada yang namanya cinta. Yang ada hanyalah kepentingan. Dengan kata lain, saya mencintaimu karena kau penting. Sejauh kau tidak penting bagiku, dirimu bukan lagi siapa-siapa. Bukankah kematian selalu berarti hilangnya cinta-di samping kepentingan? Kira-kira seperti itu yang bercokol dalam pikiran pemuda itu.

Dua
Sehelai kertas kosong tergeletak di atas meja. Dan dengan jemari tangan yang gemetaran, pemuda itu mulai menulis sesuatu. Siapa pun yang kebetulan membaca cerita ini pasti bisa menebak seperti apa isi tulisannya itu. Pada bagian akhir ia menulis, “Dengan ini saya menyampaikan kehendak hati saya untuk mengundurkan diri dari perjalanan panggilan ini.”
Selesai menulis, dimasukkan surat itu ke dalam sebuah amplop (kalau tidak salah, saya pernah melakukan hal serupa. Sebelum surat itu saya kirimkan kepada Pemimpin tertinggi serikat, dengan diam-diam saya membakarnya).
Dengan demikian, bergegaslah pemuda itu menuju rumah kekasihnya. Seakan ia tahu, akan ada kehidupan baru yang harus ia retas dari awal. Kehidupan yang bagaimana modelnya, ia sendiri belum tahu betul. Ya! Ia benar-benar belum tahu ketika sesampainya di depan rumah, matanya menangkap pemandangan aneh. Di hadapannya berdiri keluarga besar kekasihnya. Mata mereka memancarkan kesedihan bercampur sakit hati paling dalam.
Seperti apa akhir dari cerita ini, saya yakin kalian bisa menebak. Pemuda itu kemudian ditemukan tewas gantung diri setelah pinangannya ditolak.

Maumere, 09 Januari 2015

Relasi

Setelah membaca tulisan ini, kalian pasti akan membayangkan betapa menyedihkan hidup seperti saya. Lebih banyak menghabiskan waktu dengan berada di dalam kamar, membaca, merenung tentang apa saja, jarang pesiar, pokoknya rutinitas harian hanya berkisar dalam kesendirian. Sedikitpun saya tidak menilai betapa diskriminatifnya penilaian kalian, toh menurut saya bagaimana pun juga hidup seseorang tidak pernah bisa dilepaskan dari penilaian orang lain.
Jujur, saya selalu merasa terganggu bila bertemu dengan orang asing. Seseorang yang dalam pandangan saya sama sekali memiliki watak, karakter, dan budaya yang berbeda dari diri saya sendiri. Tetapi itu bukan berarti saya lalu menganggap mereka sebagai pengganggu atau musuh yang harus dilenyapkan. Bukan! Sebaliknya, saya hanya butuh waktu, kesempatan, dan rencana yang jitu untuk membangun relasi dengan orang dari kategori tersebut. Jauh dari lubuk hati saya, sejatinya terdapat kerinduan untuk membangun komunikasi dengan mereka. Hanya saja, kadang saya merasa khawatir, kurang percaya diri, dan belum siap. Saya merasa bahwa di hadapan mereka, saya tidak berarti apa-apa.

Relasi, dalam pemahaman saya, sepatutnya ada itu tergantung pada sejauh mana seseorang merasa siap untuk itu. Terlepas dari tuntutan kodrati manusia sebagai makhluk sosial, saya menilai betapa setiap relasi yang tercipta di atas muka bumi ini tidak pernah tidak terlepas dari campur tangan kepentingan. Di luar dari itu, semuanya cuma kepura-puraan. Bandingkanlah misalnya ketika Anda bersahabat dengan seseorang. Orang itu Anda anggap sebagai sahabat karena di dalam dirinya terkandung kualitas-kualitas tertentu yang penting. Sebut saja, sikap rendah hati, murah senyum, fleksibel, adaptatif, dan sebagainya. Bila kualitas termaksud memudar atau hilang, bukan tidak mungkin, relasi tersebut lalu disudahi segera. Saya kenal beberapa orang dengan model relasi seperti ini-bereferensi pada kepentingan.
Berkaitan dengan itu, terdapat sebuah pertanyaan yang cukup membingungkan saya: “Anda mencintai seseorang atau sesuatu dari seseorang?” Kalimat ini terkesan mengada-ada. Maksudnya, mana mungkin dalam pernyataan di atas, dibuat pemisahan yang tegas antara kepribadian seseorang yang tersirat dalam kata “sesuatu” dan kondisi eksistensial orang itu. Mencintai seseorang tanpa “sesuatu” hanya akan memiskinkan kepribadian manusia yang kaya. Sebaliknya, mencintai “sesuatu” terlepas dari eksistensi seseorang juga akan membuat cinta hanya bergerak di atas awan-awan alias ilutif dan tidak membumi. Jadi, berdasarkan penjelasan di atas, kedua komponen termaksud hendaknya saling melengkapi dan memenuhi. Persoalan yang muncul sesudah ini adalah bagaimana menyelaraskan dua perbedaan yang sama tetapi tak serupa itu? Jawabannya ada pada kepentingan.
Saya mencintaimu karena engkau berharga bagi hidup saya. Itu berarti ketika saya mencintaimu, saya mencintai diri saya sendiri. Demikianlah relasi resiprokal dalam mencintai tidak pernah bisa dilepaskan dari kepentingan (saya sengaja tidak menyebutnya sebagai kebutuhan). Karena keberadaanmu penting, maka saya memiliki kewajiban moral untuk mencintaimu! Kira-kira seperti itulah, relasi yang sedang menjalari kehidupan manusia saat ini.

Rabu, 25 Februari 2015.

Insomnia

Sulit untuk terlelap padahal hari hampir pagi. Lonceng berdentang pertanda waktu menunjukkan pkl. 05.30 WITA. Kicauan burung terdengar tepat di atas pohon apukat, di samping kamar. Dan ribut suara knalpot sepeda motor hilir mudik sepanjang jalanan adalah isyarat bahwa aktivitas manusia dimulai lagi pada hari ini. Sementara itu, saya masih terbaring di tempat tidur. Kelelahan, karena belum bisa memejamkan mata sepanjang malam tadi.
Semalam, sejak pkl. 00.00 WITA, saya dihubungi oleh seseorang via handphone. Orang yang paling saya kasihi itu membuat waktu berjalan terlalu cepat. Tanpa disadari, telah lebih dari 5 jam kami berbicara. Saling menceriterakan hal-hal yang sebenarnya tidak cukup penting, saya kemudian paham kalau ternyata objek yang sama bisa dinilai dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Pertanyaan tentang “apa kabarmu?” dan “sudah makan?” adalah bentuk-bentuk kalimat tanya berimplikasi retoris. Jawabannya, tanpa perlu kau tanya, sebenarnya hatimu sudah bisa memastikan modelnya seperti apa. Hingga pada pkl. 05.00, barulah telpon dimatikan setelah melewati proses yang cukup rumit. Sebenarnya saya heran: apakah perlu untuk meributkan soal tentang siapa yang harus terlebihdahulu mematikan telpon?
Bukan hal baru jika insomnia melanda setiap siapa saja yang sedang kasmaran, tak terkecuali diri saya sendiri. Hanya saja, insomnia dalam pemahaman saya bukan lagi persoalan sulit tidur. Lebih dari itu, insomnia merupakan sebuah kondisi menolak untuk tidur sebelum waktunya. Atas dasar alasan-alasan tertentu saya lalu tidak tidur, itu bukan berati saya sedang mengalami masalah “susah tidur” tetapi sebaliknya saya sedang melakukan sesuatu yang jauh lebih penting daripada sekedar tidur. Tentu saja saya harus bertanggungjawab dengan pilihan seperti itu karena, selain tidak familiar namun dapat juga menyesatkan pemahaman orang lain. Hehehehe

Selasa, 24 Februari 2015.

Ibadat Inkulturatif Penyembuhan Orang Sakit Menurut Masyarakat Nurabelen-Desa Nurri-Kecamatan Ile Bura-Kabupaten Flores Timur

I. Pendahuluan
Sebelum diuraikan seremoni penyembuhan orang sakit, terlebih dahulu dibahas tentang beberapa istilah penting sebagai berikut: Pertama, Molang atau dukun. Di Nurabelen, desa Nurri, Kecamatan Ile Bura, Kabupaten Flores Timur, istilah molang atau dukun dikenal dengan sebutan “mata lusi, iru aho”, artinya orang pintar yang punya kemampuan khusus (gaib) di mana matanya terang dan tajam bagai burung rajawali, dan penciumannya tajam seperti penciuman anjing pelacak. Terdapat begitu banyak molang berdasarkan kemampuannya masing-masing misalnya penafsir mimpi, pelindung kampung, penyembuh penyakit, dan sebagainya. Molang sebagai penyembuh penyakit umumnya menggunakan ramuan tradisional berupa akar tertentu dan jenis daun atau kulit kayu tertentu yang proses pengambilan dan pengolahannya diwariskan secara turun-temurun. Kedua, Penyebab Sakitnya Pasien. Pada umumnya seseorang jatuh sakit disebabkan oleh kuman penyakit atau karena keteledoran/kelalaian fisik lainnya dan langung diobati secara medis. Namun terdapat juga kenyataan lain bahwa pengobatan medis sama sekali belum menyembuhkan si pasien maka penyembuhan secara tradisional oleh molang atau dukun kampung menjadi pilihan berikutnya. Ada beberapa penyebab sakitnya pasien yang tak kunjung sembuh menurut versi masyarakat adalah karena dosa atau kesalahan dari pasien sendiri berupa pelanggaran adat, pencurian, perzinahan, dan sebagainya. Di samping itu penyebab lain adalah dosa atau kesalahan orang tua, keluarga, dan leluhur masa lalu dari pasien.
Dalam paper ini, saya mencoba untuk menghubungkan proses penyembuhan orang sakit dengan sebuah ibadat inkulturaltif. Maksud dari proses ini adalah terdapat kemungkinan bagi tersedianya pijakan liturgis dalam upacara penyembuhan. Dengan begitu, orang tidak lagi melihat adat dan tradisi sebagai sebuah entitas yang sama sekali terpisah bahkan bertentangan dengan tradisi Katolik. Sebaliknya, melalui ibadat inkulturatif, kebudayaan arkais dan ritus liturgis berjalan beriringan, saling melengkapi dan menjawabi kebutuhan umat.

II. Proses Ritus Penyembuhan
Proses penyembuhan orang sakit dibagi dalam tiga bagian besar, meliputi:

1) Lone Wua Malu
Secara leksikal, lone artinya alas kepala dan wua malu artinya sirih pinang. Jadi, lone wua malu artinya sirih pinang yang diletakkan di bawah bantal. Prosesnya sebagai berikut: Keluarga pasien membeli sirih pinang, membawanya ke rumah dukun/molang dengan syarat bahwa sepanjang perjalanan tidak boleh menegur atau menyapa orang. Selanjutnya, molang menerima sirih pinang disertai penjelasan maksud dan tujuan kedatangan keluarga pasien. Pada malam itu juga, dukun meletakkan sirih pinang di bawah bantal dengan caranya tersendiri dan ketika molang itu tidur nantinya otomatis ia akan bermimpi tentang penyebab penyakit yang diderita oleh pasien tersebut. Pada keesokan harinya, molang memberitahukan isi penglihatannya mengenai penyebab penyakit pasien dan selanjutnya meminta keluarga untuk menyiapkan perlengkapan untuk dilangsungkan upacara penyembuhan.

2) Perlengkapan yang Harus Disiapkan

Tahap selanjutnya adalah menentukan hari terjadinya proses penyembuhan. Untuk itu, pasien oleh anjuran dari molang, harus membawa kelengkapan berupa: Pertama, kambing jantan sedang, yang sehat, belum dikebiri, sebanyak 1 ekor. Kedua, Gebia atau gewaja (tempat sirih pinang) sebanyak 2 buah, yang satu khusus untuk pasien dan keluarganya, dan yang lain bagi peserta yang hadir. Ketiga, Sirih pinang, tembakau kasar dan koli (daun lontar yan telah dihaluskan sebagai pembungkus rokok dari tembakau kasar) dan buah kemiri. Keempat, Arak 1 botol. Kelima, Beras tumbuk untuk seremoni adat, bagi semua peserta yang hadir,d an juga sedikit untuk molang. Keenam, Kelapa muda yang belum berisi (kabo) dan daun lite (daun Pendingin). Ketujuh, Braha (segumpal kapas yang diikat dengan benang berwarna merah-disiapkan oleh molang). Kedelapan, kelapa tua 1 buah untuk molang. Kesembilan, Ayam jantan 1 ekor untuk molang. Kesepuluh, Daun lontar tua dibentuk seperti piring yang disebut dengan kebi.

3) Pelaksanaan Upacara Seremonial Penyembuhan Orang Sakit

Biasanya upacara ini dilaksanakan di rumah adat tuan tanah (lango belen) suku Puka, karena di tempat itulah terdapat kekuatan Lewotanah berupa Guna Dewa atau Guna Pulo, Dewa Lema, yang dipercaya punya kekuatan atau Ike Kwaä dalam bentuk beberapa batu penninggalan leluhur. Adapun prosesnya sebagai berikut:

a) Reka Wua Malu: Makan Sirih Pinang. Sebelum makan sirih pinang, pasien dan keluarga, dukun dan tuan tanah suku Puka, dan peserta yang hadir bermusyawarah. Dalam pembicaraan itu, molang/dukun meminta pengakuan dari pasien dan keluarga terkait dosa atau kesalahan apa saja yang pernah mereka perbuat. Sesudah dilakukan musyawarah, barulah dilaksanakan upacara makan sirih pinang atau hanya menyentuh gebia (tito dae gebia) bagi yang belum terbiasa. Tindakan ini melambangkan persatuan sebelum melakukan sesuatu (teka gebia wua malu, taan onek tou: makan sirih pinang lambang persatuan).

b) Upacara Pemotongan Hewan Kurban. Sebelum hewan dipotong, api di tungku perapian harus sudah dinyalakan agar guna dewa mengetahui bahwa sebentar lagi mereka akan menyantap bagian tubuh paling inti dari hewan korban. Dan hal ini juga memengaruhi gerak gerik hewan korban yang akan dengan tenang menyerahkan lehernya untuk dipotong. Selain itu, kelapa muda bersama daun lite diletakan di tanah dengan mata kelapa muda menghadap ke arah gunung, tepat di bawah kepala kambing. Catatan: Tidak sembarang orang yang bertugas sebagai pemotong hewan melainkan sesuai dengan sukunya masing-masing, setiap petugas menjalankan perannya berbeda. Penjelasan tentang ini, saya tangguhkan dulu. Sesudah kambing disembelih dengan cara dipenggal kepalanya, maka bagian tubuhnya yang paling inti diambil, meliputi hati, jantung, bama (rahang bawah), dan keempat kuku kaki kambing. Semuanya itu dipanggang terpisah dari yang anggota tubuh lainnya. Upacara setelah daging kambing matang yaitu: Pertama, Piring dari daun lontar (kebi) dibagikan ±5 kebi untuk tuan tanah, dukun, dan petugas lainnya yang berperan dalam seremoni. Kedua, Molang dan/atau tuan tanah membagi nasi khusus, daging inti yang dipanggang ke dalam kebi-kebi yang sudah disiapkan. Ketiga, Tuan tanah mengambil sedikit daging, sedikit nasi, dan arak 1 gelas dan memperembahkannya di hadapan Guna Dewa sebagai lambang “memberi makan” disertai syair mantra:

Go me bohu, menu me seba
Ne ata blara bera sare
Ake ai susah muri

c) Pembelahan Kelapa Muda. Selanjutnya, molang membelah kelapa muda dan airnya direciki dengan menggunakan daun lite ke atas kebi-kebi tersebut sambil berkata:

Loi glete owe owa, sire mite lite kabo bali bura

Sesudah itu, setiap orang yang menjaga kebi itu boleh makan bagian yang telah disediakan. Bersamaan dengan itu, semua peserta yang lain boleh makan daging umum (dimasak tanpa campuran bumbu) dengan nasi untuk umum sedangkan pasien dan keluarganya tidak boleh menyantap daging kambing persembahan tadi melainkan ikan atau lauk lain yang dibawa sendiri. Setelah semuanya selesai, molang memanggil pasien dan keluarganya. Di hadapan mereka, molang mengunyah sirih pinang dan daging buah kemiri (jadinya ilu mean: warna merah) yang selanjutnya dimuntahkan dalam sebuah tempurung. Dioleskannya ilu mean itu dalam bentuk “Tanda Salib” di dahi pasien dan keluarganya. Selanjutnya, pasien dan keluarganya boleh langsung pulang tanpa pamit (tidak boleh menoleh ke belakang) menuju ke rumah mereka.

III. Cara Tradisional Menentukan Jenis Penyakit Pada Pasien
Adapun seremoni yang dilakukan adalah Bia Manu. Bia artinya merobek, dan manu artinya ayam. Jadi, bia manu merupakan proses merobek ayam (jantan). Hal ini dilakukan dengan cara molang meletakkan ayam jantan di atas kepala pasien sambil mengatakan:
Manu Lera Wulan, jago tana ekan
Goko nua go koda pulo kirin lema
Kedi Mo noni nua kame
Na pu plate bringi puke a

Kemudian ayam tersebut dirobek lalu diperiksa atau lihat bagian dalamnya mulai dari jantung, hati, rusuk, usus, dan lain-lain. Jika ada bagian tubuh ayam tersebut rusak atau luka, maka diyakini bagian tubuh pasien pun demikian. Jika demikian maka molang pergi mencari dan menemukan ramuan tradisional yang cocok untuk mengobati pasien berdasarkan petunjuk dari ayam jantan tadi, hingga pasien tadi sembuh.

IV. Ibadat Inkulturatif Penyembuhan Orang Sakit

Tema: Yesus Adalah Tabib Agung
(Markus 5:1-20)

Tujuan: Agar peserta, sesudah mengikuti ritus adat penyembuhan orang sakit, dihantar pada pemahaman bahwa Tuhan menganugerahkan kesembuhan melalui para molang/dukun, dan tuan tanah.

A. Lagu pembuka
B. Tanda Salib
P : Demi Nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus

U : Amin

P : Semoga rahmat Tuhan kita Yesus Kristus, cinta kasih Allah dan persekutuan Roh
Kudus beserta kita.

U : Sekarang dan selama-lamanya.

C. Kata Pengantar

Bapak/Ibu, Saudara/i, opu pain, ina/ama, kaka ari wokokae yang goe hunge di ba’a, goe tonga di blola. Pi lero, tite pupu taan onek tou, untuk mendoakan Saudara, kaka/ari tite yang mete bringi ne blara. Oleh karena itu, marilah di awal ibadat ini, kita menyesali segala dosa dan kesalahan yang pernah kita buat di masa lampau terutama kepada Tuhan dan para leluhur agar hati kita pantas merayakan ibadat ini dengan jalan yang lapang membentang tiada beban tertangguh.

D. Pernyataan Tobat
P: Tuhan Yesus Kristus, kami seringkali malas bersyukur dalam setiap tugas-tugas hidup kami. Tuhan, kasihanilah kami
U: Tuhan, kasihanilah kami….
P: Tuhan Yesus Kristus, Engkau sungguh taat kepada Bapa, namun kami tidak banyak menaati kehendak Bapa yang begitu baik kepada kami. Kristus, kasihanilah kami
U: Kristus, kasihanilah kami….
P: Tuhan Yesus Kristus, pimpinlah kami agar mampu mengikuti jejakmu, bersyukur, dan berani berkorban demi kepentingan bersama, sehingga pantas menjadi murid-muridmu. Tuhan, kasihanilah kami
U: Tuhan, kasihanilah kami…
P: Semoga Allah yang Mahakuasa dan Maharahim mengasihi kita, mengampuni dosa-dosa kita, dan mengahantar kita ke hidup yang kekal.
U: Amin.

E. Doa Pembuka

O Lera Wulan Tanah Ekan, Allah Bapa Yang Maha Kuasa. Pada hari ini kami semua sebagai suatu keluarga besar kembali berkumpul di hadapanmu. Sebagaimana PuteraMu Tuhan kami Yesus Kristus yang setia menghayati tradisi adat-istiadat Yahudi, demikianpun kami telah melaksanakan ritus penyembuhan atas penyakit yang diderita oleh Saudara kami ini. Semoga dengan perkenananMu, kiranya Engkau mengutus Roh KudusMu untuk menyempurnakan ritus kami sebelumnya dan anugerahkanlah kesembuhan atas dirinya. Karena Kristus itu juga Tuhan kami yang meraja bersama Dikau dalam persatuan dengan Roh Kudus, Allah sepanjang segala abad. Amin.

F. Pembacaan Kitab Suci
Injil Markus 5: 1-20 (Yesus Mengusir Roh Jahat dari Orang Gerasa)
G. Homili Singkat
Pada bagian ini, pemimpin ibadat membawakan sebuah renungan/homili singkat berkaitan dengan ritus penyembuhan tadi. Intinya bahwa dalam ibadat ini, ritus tersebut disucikan melalui sabda Kristus.
H. Aku Percaya
I. Doa Umat
P: Saudara-saudari, Allah Bapa kita yang maha kasih telah membebaskan manusia dari dosa-dosanya berkat kerahiman-Nya. Atas kesatuan yang kita alami pada hari ini, marilah kita bersyukur dan memanjatkan doa-doa kepada-Nya.

P: Bagi Saudara kita yang sakit.
Semoga Tuhan membimbing setiap langkah hidupnya agar ia dibebaskan dari penyakitnya dan jika telah terjadi kesalahan dalam hidupnya kiranya ia kembali meniti jalan yang dikehendaki oleh Yuhan. Marilah kita mohon ….

U: Kabulkanlah doa kami ya Tuhan

P: Bagi karya kita.
Semoga segala karya kita berkenan kepada Tuhan dan diberkati sehingga orang yang melihat dan merasakannya menjadi tertarik untuk mengikuti Yesus Kristus, Tuhan kita. Marilah kita mohon …..

U: Kabulkanlah doa kami ya Tuhan

P: Bagi kita agar terhindar dari segala jenis penyakit dan gangguan roh jahat.
Semoga kita senantiasa meningat Tuhan sebagai awal dan tujuan hidup. Dengan demikian, kita dimampukan untuk mengalahkan segala hawa nafsu dan keinginan untuk menikmati kesenangan duniawi semata. Kiranya Tuhan tidak melemparkan kita ke dalam jurang maut oleh karena tindakan kita yang keliru tetapi sebaliknya memberikan kita kesempatan untuk kembali berbenah diri. Marilah kita mohon …..

U: Kabulkanlah doa kami ya Tuhan

P: Bagi kita semua.
Semoga kita yang berhimpun disini senantiasa berusaha untuk saling meneguhkan dan menguatkan dalam iman dan berjuang melaksanakan panggilan Tuhan menjadi garam dan terang bagi sesama kita. Dan dengan bantuan Roh Kudus, kita dimampukan untuk melawan segala bentuk godaan dan rayuan si jahat. Marilah kita mohon …..

U: Kabulkanlah doa kami ya Tuhan

P: Marilah kita hening sejenak kita sampaikan ujub pribadi kita masing-masing kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa. ( hening sejenak ) Marilah kita mohon ……

U: Kabulkanlah doa kami ya Tuhan

P: Ya Bapa Yang Mahabaik,
demikian curahan hati kami, keluarga umatMu yang cenderung jatuh pada bujukan dan rayuan dosa namun tetap setia ingin berubah dari hari ke hari. Semoga Engkau mendengarkan dan mengabulkan doa-doa kami dan melimpahi kami dengan berkat dan rahmat-Mu. demi Kristus, Tuhan dan Pengantara kami.

U: Amin

P: Marilah kita satukan doa dan dan ungkapan syukur kita dengan doa yang telah
diajarkan oleh Tuhan Yesus sendiri: Bapa Kami…..
J. Doa Penutup

O Lera Wulan Tanah Ekan, kame ata ribu ratu lema pia tobo mori gewayan tanah ekan kame. Semoga Moe sera soron kame rohul Moe, Na liko lapak kame supaya kame ake todok wato tonu. Dengan Perantaraan Kristus Tuhan kami yang meraja bersama Dikau dalam persatuan dengan Roh Kudus, Allah sepanjang segala abad. Amin.

K. Lagu Penutup

V. Penutup
Sekilas gambaran seremoni penyembuhan orang sakit di Nurabelen, desa Nurri, kecamatan Ile Bura, kabupaten Flores Timur memberikan gambaran kepada kita bahwa orang jatuh sakit bukan selamanya disebabkan oleh kuman penyakit saja tetapi juga oleh kesalahan dan dosa manusia. Benar apa yang dikatakan Kitab Suci, “Upah dosa adalah maut”. Biar bagaimanapun setiap pasien harus mengupayakan penyembuhan secara medis terlebih dahulu tetapi kalau belum sembuh, barulah diupayakan penyembuhan menggunakan ritus seperti ini.
Demikianlah ritus ini dibuat tidak bermaksud untuk meyakinkan orang bahwa model seperti ini lebih unggul daripada cara penyembuhan secara medis. Tetapi sebaliknya, memberikan peluang kepada masyarakat untuk mensiasati kapan harus menggunakan penyembuhan alternatif seperti ini, dan kapan hendaknya menggunakan penyembuhan medis. Keduanya harus berjalan seimbang demi menjaga keutuhan dan keselarasan hidup manusia.